KONTEKS.CO.ID – Dipa Nusantara Aidit, masyhur dengan nama DN Aidit, menjadi salah seorang pentolan PKI yang paling dicari tentara pasca-Gerakan 30 September (G30S) PKI pada 1965.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Komunis Indonesia (PKI) itu menjadi buronan penting karena dinyatakan terlibat dalam aksi G30S PKI yang menewaskan enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat (AD).
Setelah upaya kudeta pada malam 30 September 1965 gagal total, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayjen Soeharto mengambil alih kendali militer.
Baca Juga: Tragedi G30S PKI: Perseteruan Politik Antara DN Aidit dan Jenderal Ahmad Yani yang Berujung Tragis
Pada hari kedua setelah G30S PKI, pasukan RPKAD bersama batalyon gabungan lainnya yang dikoordinasi Kostrad menyerbu dan merebut kawasan Halim yang disebut menjadi jantung operasi G30S PKI.
Salah satu inisiator G30S PKI, Brigjen Mustafa Sjarief Soepardjo, menceritakan kepanikan saat markas komando operasi G30S PKI diserbu pasukan RPKAD.
Soepardjo dalam surat rahasianya kepada Menteri Panglima Angkatan Udara (Menpangau) Marsekal Omar Dhani, menyampaikan, para pimpinan G30S PKI saat itu berkumpul di Lubang Buaya.
"Kesatuan RPKAD mulai masuk menyerang, keadaan mulai wanordelijk [kacau]," ujarnya.
Dalam dokumen yang disita dari penjara Omar Dhani itu, Soepardjo menyebut bahwa pasukan-pasukan pemuda belum biasa menghadapi perang yang sesungguhnya.
Di Pangkalan Udara Halim, terdapat tiga poros penting yang jaraknya masing-masing kurang dari 1 mil. Pertama, Pusat Komando Gerakan di rumah Sersan Udara Suyatno, ajudan Mayor Suyadi.
Di sini berkumpul Untung, Latif, Suyono, Sjam Kamaruzaman selaku Ketua Biro Khusus PKI, dan Supono Marsudidjojo sebagai wakilnya.
Kedua, Kantor Komando Operasi Halim. Di sini ada Omar Dhani. Ketiga, rumah Sersan Udara Suwardi, terdapat Aidit dan dua pengawalnya.
Pada malam 30 September 1965, Aidit awalnya berada di rumahnya. Pada pukul 1 Oktober pukul 2 pagi, ia dijemput Mayor AU Suyono.