Tokoh-tokoh seperti Semaun, Darsono, dan Muso menggunakan taktik pemogokan sebagai senjata.
Pemogokan besar VSTP tahun 1923 menuntut kerja delapan jam berakhir dengan penangkapan.
Pemerintah kolonial khawatir jalur kereta disabotase. Sejak kegagalan pemberontakan PKI 1926, pengaruh anarkisme meredup.
Baca Juga: Rahasia Bisnis Teh Botol Sosro: Cicip Rasa, Promosi, dan Tak Pelit Bagi Rejeki ke Pelanggan
Namun, warisan kritik terhadap negara dan kapitalisme tak sepenuhnya hilang. Ia muncul kembali dalam bentuk berbeda pada akhir abad ke-20.
Reformasi 1998: Jalanan Sebagai Arena
Krisis moneter Asia 1997 menghantam keras Indonesia.
Harga meroket, pengangguran melonjak, utang membengkak. Di bawah represi Orde Baru, suara rakyat hanya bisa keluar lewat jalanan.
Kerusuhan Mei 1998 menjadi titik balik. Mahasiswa menduduki gedung DPR, sementara Jakarta terbakar.
Toko-toko dijarah, perempuan diperkosa, ribuan nyawa melayang. Soeharto akhirnya lengser 21 Mei 1998.
Reformasi melahirkan demokrasi, tapi juga meninggalkan luka. Jalanan tercatat sebagai arena utama perubahan politik.
Generasi Baru Anarkisme: Punk, PRD, dan Jaringan Kolektif
Selepas Reformasi, anarkisme menemukan rumah baru dalam subkultur punk. Kolektif anarkis, fanzine, dan musik punk hardcore mempropagandakan anti-otoritarianisme.
Bima Satria Putra mencatat, PRD (Partai Rakyat Demokratik) merekrut kelompok punk melalui Front Anti-Fasis (FAF) akhir Orde Baru.
Tahun 2007, lahir Jaringan Anti-Otoritarian (JAO), asosiasi longgar kolektif anarkis di berbagai kota.