Misbah memberi contoh, belum sinkronnya desain pajak dan tata kelola implementasi Opsen Pajak dan restrukturisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Hal ini menimbulkan ‘kesewenang-wenengan’ pemda menaikan pajak/retribusi.
Baca Juga: Kemenpar Luncurkan Halo Wonderful, Permudah Akses Pengaduan Pariwisata
“Kasus terbaru di Kabupaten Pati yang kemungkinan akan terjadi di daerah-daerah lain,” imbuhnya.
Kelima, sambung dia, minimnya transparansi dan akuntabilitas Belanja Perpajakan (Tax Expenditure) yang diestimasi mencapai Rp563,6 triliun.
“Belanja Perpajakan ini 50%-nya besar berasal dari PPN dan PPnBM, dan paling banyak digunakan untuk sektor Industri Pengolahan (25%). Sedangkan untuk Air Minum, Penanganan Sampah, dan Sanitasi hanya 11%, Jasa Pendidikan (0,5%), dan Jasa Kesehatan (5%),” sebutnya.
Baca Juga: Lee Junho 2PM Dirikan Agensi Baru O3 Collective, Gandeng Eks CJ ENM Jadi Co-Founder
Misbah berharap, reformasi perpajakan jangan sampai membebani masyarakat. Pemerintah harus kreatif dengan memperbaiki manajemen, sistem, dan tata kelola perpajakan. Fragmentasi pajak antara pusat dan daerah juga harus segera disikapi agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat karena beban pajak semakin tinggi.
“Paling penting, sistem perpajakan, Bea-Cukai dan PNBP harus terintegrasi dan transparan, dapat dipantau oleh public,” pungkasnya. ***
Artikel Terkait
DPR Setuju Pembahasan Lanjutan RAPBN dan RKP 2026, Ini Isinya
Terinspirasi Warga Pati, Paguyuban Pelangi Kota Cirebon Ajak Masyarakat Lawan Regulasi Pajak PBB Naik Seribu Persen!
Kisruh Pajak Naik Drastis hingga 250 Persen di Pati, Coba Pelajari Cara Hitung PBB-P2 yang Tepat
Trik Cepat Tambah PAD, Anggota DPR Ingatkan Pemda Jangan Asal Menaikkan Pajak
RAPBN 2026: Seknas FITRA Soroti Program Besar Prabowo Tanpa Studi, Cuma Jadi Ajang Bancakan