Setelah pengepungan selama 18 bulan, RSF disebut berhasil merebut El Fasher pada akhir Oktober 2025.
Akibatnya, warga kota berpenduduk sekitar 1,2 juta jiwa menghadapi krisis pasokan pangan dan obat-obatan; beberapa dilaporkan bertahan hidup hanya dengan pakan ternak.
Laporan dari organisasi kemanusiaan dan media internasional menyebutkan indikasi kekejaman serius, termasuk tindakan penyiksaan, eksekusi terhadap warga sipil, serta serangan terhadap fasilitas kesehatan.
Catatan satelit yang dirilis lembaga penelitian kemanusiaan juga menunjukkan potensi kuburan massal dan jejak kekerasan skala luas.
Tekanan Diplomatik Jadi Solusi
Sukamta menilai Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi memiliki posisi strategis untuk memengaruhi dinamika konflik.
Baca Juga: Sudan Ogah Gencatan Senjata dengan RSF, kecuali...
Menurutnya, kedua negara tersebut memiliki hubungan dekat dengan aparat militer maupun kelompok paramiliter di Sudan sehingga dapat menggunakan saluran diplomatik untuk menekan pihak-pihak bertikai agar menahan diri.
“Kedua negara itu memiliki hubungan dekat dengan militer Sudan maupun kelompok paramiliter, sehingga bisa memainkan peran penting dalam menekan mereka agar menghentikan kekerasan,” jelasnya.
Pendekatan yang diusulkan Sukamta bukan sekadar meminta OKI membahas konflik, melainkan mendorong kolaborasi diplomatik konkret, tekanan yang memanfaatkan pengaruh negara-negara regional untuk mencapai gencatan senjata dan akses bantuan kemanusiaan.
Krisis Kemanusiaan: Skala dan Implikasi Global
Sukamta mengingatkan bahwa konflik dua tahun terakhir telah menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar dan memaksa sekitar 14 juta orang mengungsi.
Krisis seperti ini tidak hanya melukai warga Sudan secara langsung, tetapi juga menimbulkan implikasi lintas-batas yaitu gelombang pengungsian, runtuhnya layanan dasar, dan potensi kekerasan berkelanjutan yang memperbesar beban kemanusiaan di kawasan.
Baca Juga: Perang Etnis di Sudan Dikhawatirkan Berujung Horor Genosida
Oleh karenanya dirinya mendesak pemerinth Indonesia menggunakan kapasitas diplomatiknya di OKI dan forum internasional lain untuk mengupayakan langkah-langkah yang konkret berupa pertemuan darurat OKI, mediasi yang terkoordinasi, hingga ladang tekanan terhadap aktor yang berkontribusi pada kekerasan.
Di tengah bukti-bukti lapangan yang mengerikan, Sukamta menegaskan bahwa keheningan atau respons simbolis tidak lagi memadai. Jika OKI dan negara-negara berpengaruh di dunia Islam benar-benar berniat mencegah tragedi kemanusiaan, langkah mendesak dan terkoordinasi kini mutlak diperlukan.
“Saya berharap Pemerintah Indonesia bisa mendorong OKI untuk segera melakukan pertemuan darurat membahas upaya penghentian konflik di Sudan,” demikian Sukamta.***
Artikel Terkait
Panglima TNI Kirim Pasukan Khusus ke Sudan Evakuasi WNI dari Medan Perang Saudara
Tiba di Jeddah, WNI Berhasil Dievakuasi dari Sudan: Bravo Pemerintah Indonesia!
Perang Etnis di Sudan Dikhawatirkan Berujung Horor Genosida
Sudan Ogah Gencatan Senjata dengan RSF, kecuali...
Sudan Membara! Pasukan Mohamed Hamdan Dagalo Bantai Ratusan Warga Sipil Tanpa Ampun