KONTEKS.CO.ID – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), Haidar Alwi, menilai usulan seleksi calon kapolri jangan libatkan DPR bukan hanya problematis secara konstitusional.
"Juga dapat dikategorikan sebagai usulan konyol dalam konteks arsitektur demokrasi Indonesia pascareformasi," kata Haidar di Jakarta, Jumat, 12 Desember 2025.
Menurut Haidar, usul tersebut menunjukkan ketidakpekaan terhadap prinsip dasar negara hukum yang dibangun untuk mencegah konsentrasi kekuasaan eksekutif atas aparat bersenjata.
"Polri adalah institusi koersif yang memiliki kewenangan besar dalam penyidikan, pemeliharaan keamanan, dan penegakan hukum," katanya.
Karena itulah mekanisme persetujuan DPR menjadi elemen kunci untuk memastikan akuntabilitas dan integritas calon Kapolri.
Menghilangkan mekanisme itu, berarti membuka pintu bagi dominasi politik sepihak dan mengubah Polri menjadi alat kekuasaan.
Baca Juga: Komisi Percepatan Reformasi Polri Dukung Usulan Polemik Ijazah Jokowi Dimediasi, Sebut Syarat Mutlak
"Bukan lembaga profesional yang melayani kepentingan publik," ujarnya.
Sebelumnya, sejumlah pihak mengusulkan agar pemilihan calon Kapolri tidak lagi melibatkan DPR, di antaranya Pusat Purnawirawan (PP) Polri dan DPN Peradi.
Mantan Kapolri Jenderal (Purn) Da'i Bachtiar dari PP Polri menyampaikan, jika Kapolri memerlukan persetujuan dari DPR, pihaknya khawatir Kapolri akan memikul beban balas jasa.
Baca Juga: Roy Suryo Angkat Bicara Soal WO Audiensi Komisi Percepatan Reformasi Polri
Senada dengan PP Polri, DPN Peradi menyampaikan, pelibatan DPR dalam menyeleksi calon Kapolri menyebabkan kapolri tersandera kepentingan politik.
"Karena dari rujukan fakta beberapa tahun terakhir, kita melihat posisi kepolisian ini agak tertarik-tertarik oleh kekuatan-kekuatan politik," ujar Dwiyanto Prihartono, Ketua Harian DPN Peradi.