KONTEKS.CO.ID - Pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang mencapai angka 1,6 Miliar Dolar telah memicu kecurigaan serius adanya praktik korupsi dan manipulasi.
Aktivis dan Dosen Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera turun tangan dan melakukan investigasi terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) yang kini menjadi beban negara.
Menurutnya, setiap pembangunan yang menunjukkan inkonsistensi besar antara perencanaan awal dan realisasi di lapangan patut dicurigai adanya permainan curang.
Ubedillah menyoroti keanehan bagaimana sebuah perusahaan milik negara Cina yang dianggap kredibel bisa mengalami pembengkakan biaya sedemikian masif saat mengerjakan proyek ini.
"Bagaimana sebuah perusahaan yang dianggap kredibel dari pemerintah Cina merancang satu pembangunan kereta cepat, tiba-tiba membengkak pembiayaannya? Ini kan aneh," ujarnya dalam siniar yang tayang di kanal Youtube Forum Keadilan TV pada Senin, 13 Oktober 2025.
Ia mempertanyakan secara spesifik apa yang menjadi penyebab lonjakan biaya tersebut, apakah terkait mekanisme pembebasan lahan yang bermasalah atau adanya penggelembungan harga pada pengadaan material dan barang-barang konstruksi.
Perbedaan drastis antara janji biaya awal yang lebih murah dari Jepang dan realisasi yang jauh lebih mahal ini mengindikasikan adanya persoalan serius dalam tata kelola keuangan proyek yang harus segera diusut tuntas.
Lebih jauh, Ubedillah menekankan bahwa titik awal investigasi bisa dimulai dari proses pengambilan kebijakan yang mengalihkan proyek dari Jepang ke Tiongkok.
Keputusan ini, menurutnya, adalah sebuah tanda tanya besar. "Adakah transaksi tertentu yang membuat pergeseran produk ini yang semula di awal akan ditangani oleh Jepang lalu kemudian bergeser ke Cina?" tanyanya, menyiratkan adanya dugaan kuat transaksi ilegal di balik layar yang mempengaruhi keputusan strategis tersebut.
Baca Juga: Marak Aksi Premanisme, Anggota DPR Desak OJK Hapus Aturan Debt Collector
Sikap ini diperkuat oleh fakta bahwa beberapa pejabat pada masa itu, seperti Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, secara terbuka menolak proyek tersebut karena dinilai tidak layak secara finansial.
Kecurigaan ini menjadi semakin relevan jika ditempatkan dalam konteks korupsi yang lebih luas.