Alasan pemecatan pun cukup ketat, antara lain:
- Melanggar sumpah/janji jabatan.
- Terjerat kasus hukum dengan ancaman pidana lebih dari lima tahun.
- Diberhentikan oleh partai politiknya.
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR.
Jika pemecatan resmi dilakukan, barulah posisi mereka digantikan melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).
Kritik dari Pakar Hukum
Herdiansyah Hamzah, anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS), menilai istilah "nonaktif" hanya akal-akalan partai politik untuk meredam kemarahan publik.
Menurutnya, dalam UU MD3 maupun Peraturan DPR, istilah nonaktif tidak dikenal secara hukum. Yang ada hanyalah pemberhentian sementara atau pemberhentian permanen.
"Dikiranya kita bodoh kali ya. Istilah penonaktifan sekali lagi tidak ada di dalam UU MD3 ataupun Tatib DPR 1/2020, Yang ada itu pemberhentian dan pemberhentian sementara" ujarnya.
"Mereka tetap anggota DPR, dan tetap makan gaji," imbuhnya.
Castro menjelaskan bahwa jika istilah nonaktif dimaksudkan sebagai pemberhentian sementara, maka konteksnya berbeda.
Pemberhentian sementara hanya bisa diputuskan melalui Rapat Paripurna DPR, bukan oleh partai politik.
Menurutnya, mekanisme ini biasanya diterapkan kepada anggota dewan yang tersangkut kasus hukum, terutama tindak pidana khusus seperti korupsi atau kasus lain dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun penjara.