KONTEKS.CO.ID - Rencana pemerintah menonaktifkan lebih dari 8 juta penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menuai kekhawatiran dari berbagai kalangan.
Para analis memperingatkan bahwa kesalahan dalam pemutakhiran data penerima bantuan sosial (bansos) berpotensi mendorong jutaan rumah tangga miskin jatuh ke jurang kemiskinan yang lebih dalam.
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, menyatakan pemangkasan data penerima PBI yang tidak diiringi dengan validasi dan mekanisme koreksi yang adil akan meningkatkan risiko exclusion error atau kesalahan eksklusi.
Hal ini berpotensi membuat masyarakat yang sebenarnya masih berhak justru kehilangan perlindungan sosial, terutama akses terhadap layanan kesehatan.
“Dampaknya bisa sangat signifikan terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Banyak rumah tangga rentan yang bisa saja terlempar kembali ke bawah garis kemiskinan akibat kehilangan akses terhadap perlinsos, terutama layanan kesehatan melalui PBI JKN,” kata Badiul yang dikutip pada Jumat, 18 Juli 2025.
Baca Juga: Serap Rp6,88 Triliun, Pemerintah Sudah Cairkan BSU buat 11,4 Juta Pekerja
Pemutakhiran data ini merupakan bagian dari proses transisi dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menuju Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), yang melibatkan kolaborasi antara Kementerian Sosial dan Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, para pengamat menilai pendekatan ini masih menyisakan banyak celah.
Badiul menekankan pentingnya mekanisme pengaduan (grievance redress) yang mudah diakses, cepat, dan transparan.
Ia menyarankan pemerintah melibatkan pendekatan berbasis komunitas (community-based targeting) dan penggunaan data administratif daerah sebagai pelengkap proses pemutakhiran.
Peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah, juga menyuarakan kekhawatiran serupa. Menurutnya, program PBI JKN selama ini hanya membantu menjaga daya beli masyarakat miskin pada tingkat paling dasar.
Jika akses terhadap bantuan ini dicabut dari keluarga miskin atau rentan, maka tekanan ekonomi akan meningkat, memicu penurunan kualitas hidup.
“Jika sebagian dari yang tersisih ternyata masih memenuhi kriteria miskin atau rentan miskin, maka mereka akan kehilangan perlindungan sosial yang selama ini menopang konsumsi dasar mereka. Ini bisa memperburuk daya beli dan kualitas hidup mereka,” kata Shofie.
Ia menekankan bahwa penghapusan data harus mengacu pada indikator objektif seperti pengeluaran, kepemilikan aset, dan kondisi sosial ekonomi terkini. Pemerintah juga harus memastikan proses pembaruan data berlangsung secara dinamis, tidak menunggu siklus tahunan.