Dugaan pelanggaran itu mencakup pencemaran lingkungan, konflik dengan masyarakat adat dan komunitas lokal, hingga persoalan hak-hak pekerja.
“Kasus-kasus ini bersifat irremediable, artinya sulit dipulihkan. Respons perusahaan pun sangat minim,” tegas Nabhani.
Ia juga menepis klaim bahwa Harita Nickel sepenuhnya patuh HAM. “Tidak benar jika dikatakan mereka kompatibel HAM secara utuh,” ujarnya.
Baca Juga: Megawati Disindir Buzzer Saat Turun ke Lokasi Bencana: Peri Kemanusiaan Kalian ke Mana?
Narasi Penghargaan Dinilai Menyesatkan Publik
SETARA menekankan bahwa Anugerah Bisnis dan HAM bukan bentuk legitimasi, melainkan dorongan agar perusahaan melakukan perbaikan berkelanjutan sesuai prinsip knowing and showing dalam UNGPs.
Namun, publikasi yang disampaikan perusahaan dinilai membangun kesan seolah penghargaan itu menjadi bukti mutlak kepatuhan HAM.
“Angle rilisnya seakan-akan SETARA memberi pengakuan penuh,” kata Nabhani.
Baca Juga: Ammar Zoni Bongkar Dugaan Kekerasan Saat Pemeriksaan: Disetrum, Dipukul, hingga Minta CCTV Dibuka
Warga Kawasi: Antara Tambang dan Ancaman Ekologis
Sementara itu, warga Desa Kawasi, Pulau Obi, terus hidup dalam bayang-bayang krisis lingkungan. Banjir rob, air bersih yang sulit diakses, dan menurunnya hasil laut menjadi keluhan yang berulang.
Riset RBC menegaskan masih adanya jurang lebar antara dokumen kebijakan perusahaan dan realitas di lapangan.
SETARA menutup laporannya dengan penegasan yaitu benchmark ini bukan stempel hijau, melainkan alarm dini sebelum uji tuntas HAM menjadi kewajiban hukum.***
Artikel Terkait
Harita Nikel Operasikan 12 Smelter RKEF, Produksi Feronikel Tembus 185 Ribu Ton per Tahun
Nyawa Pekerja Melayang di Area Tambang Harita Group, Picu Dugaan Kelalaian K3