• Senin, 22 Desember 2025

Trend Asia: Pernyataan UNFCCC Harus Jadi Acuan, Komitmen Iklim Indonesia Penuh Solusi Palsu

Photo Author
- Rabu, 12 November 2025 | 06:46 WIB
Pembangkit listrik batu bara Suryalaya, Cilegon. Koalisi masyarakat sipil  JustCOP nilai Indonesia sulit capai target penurunan emisi karbon. (KONTEKS.CO.ID/Dok Greenpeace)
Pembangkit listrik batu bara Suryalaya, Cilegon. Koalisi masyarakat sipil JustCOP nilai Indonesia sulit capai target penurunan emisi karbon. (KONTEKS.CO.ID/Dok Greenpeace)
KONTEKS.CO.ID – Pengkampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, mengingatkan, pernyataan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Simon Stiell,  selayaknya menjadi arah utama Indonesia dalam memperkuat komitmen iklim.
 
Namun, kata dia dilansir pada Rabu, 12 November 2025, Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia justru sarat dengan solusi palsu yang jauh dari nilai keadilan dan inklusivitas. 
 
Pemerintah masih membuka ruang bagi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru dan mendorong gas sebagai low carbon fuel.
 
 
Menurut Beyrra, itu sebuah langkah yang mempertahankan ketergantungan pada energi fosil dan mengabaikan tanggung jawab untuk memastikan transisi yang adil bagi masyarakat dan lingkungan.
 
Beyrra menilai arah pendanaan dan kebijakan energi nasional hingga sekarang sama sekali belum menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. 
 
“Tidak ada dukungan berarti bagi inisiatif energi terbarukan berbasis komunitas yang selama ini menjadi bukti nyata transisi yang adil dan berakar dari bawah," ujarnya. 
 
 
Ia menegaskan, selama transisi hanya berputar di lingkaran korporasi dan solusi semu.
 
"Indonesia tidak sedang menuju transformasi energi, melainkan memperpanjang ketimpangan dan ketidakadilan atas nama iklim,” katanya.
 
Hingga saat ini, Indonesia masih mengandalkan energi fosil sebagai sumber energi. Ini sebagaimana data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
 
 
Hingga 2024, bauran energi primer di Indonesia masih didominasi oleh batu bara sebesar 40,37 persen, disusul minyak bumi sebesar 28,82 persen, gas bumi 16,17 persen, dan Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapat 14,65 persen.
 
Penggunaan batu bara yang masif telah merugikan masyarakat. Hasil riset CELIOS, CREA dan Trend Asia yang diterbitkan 4 November 2025 lalu menunjukkan, penggunaan batu bara di 20 PLTU menyebabkan setidaknya 156.000 kematian dini akibat polusi udara.
 
Kemudian, biaya ekonomi dari kerugian kesehatan hingga US$109 miliar atau setara Rp1,813 triliun dari tahun 2026 hingga tahun operasional terakhir pada tahun 2050 akibat polusi udara. 
 
 
Penyakit-penyakit yang timbul dari dampak kesehatan PLTU meliputi stroke, penyakit jantung iskemik, infeksi saluran pernapasan bawah, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru-paru, dan diabetes. 
 
Kerugian ekonomi per tahun dari 20 PLTU mencapai Rp52,4 triliun dan berkurangnya pendapatan masyarakat secara agregat sebesar Rp48,4 triliun. 
 
Sebanyak 1,45 juta tenaga kerja berkurang akibat operasional 20 PLTU di Indonesia, sebagian besar merupakan pekerja di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang terdapat pencemaran lingkungan.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Setiawan Konteks

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X