• Minggu, 21 Desember 2025

SETARA Institute: Ledakan SMA 72 Bukan Kriminal Biasa, Bukti Terorisme Sudah Menyusup ke Sekolah

Photo Author
- Minggu, 9 November 2025 | 06:08 WIB
TKP ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara (Foto: Istimewa)
TKP ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara (Foto: Istimewa)

KONTEKS.CO.ID - Peristiwa ledakan di lingkungan SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Jumat, 7 November 2025 yang menyebabkan puluhan orang terluka nyata-nyata merupakan indakan ekstremisme kekerasan.

Sebelum tragedi tersebut, dalam tiga tahun terakhir, tidak terjadi satupun serangan teroris di Indonesia (zero terrorist attack).

Namun, peristiwa di SMA 72 Jakarta merupakan alarm peringatan bahwa kesiapsiagaan dan langkah prevensi mesti selalu dilakukan guna menghindari terjadinya keberulangan dan mencegah ekstremisme berbasis kekerasan.

Baca Juga: Polisi Temukan Serbuk Diduga Bahan Peledak di Rumah Terduga Pelaku Ledakan SMAN 72 Kelapa Gading

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan berujar bahwa tragedi di SMA 72 Jakarta ini mesti dicatat sebagai peringatan bahwa permasalahan ekstremisme berbasis kekerasan di usia dini masih besar dalam tata kebinnekaan Indonesia.

Nama-nama teroris dunia yaitu Brenton Tarrant pelaku teror di Selandia Baru dan Alexandre Bissonnette pelaku teror di Kanada, serta narasi Welcome to Hell di senapan mainan yang diduga milik terduga pelaku merupakan penegas bahwa tragedi tersebut bukanlah peristiwa kriminal biasa, namun patut diduga mengarah pada terorisme.

"Tragedi tersebut menegaskan bahwa seluruh pihak mesti bekerjasama dan terlibat dalam agenda dalam mencegah dan menangani kompleksitas eksremisme kekerasan. Derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi melipatgandakan kompleksitas persoalan pencegahan dan penanganan keterpaparan, terutama di kalangan generasi muda," ungkap Halili dalam siaran persnya, Minggu, 9 November 2025.

Upaya-upaya peningkatan literasi kebangsaan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan kata dia, harus dilakukan secara lebih massif untuk mencegah keterpaparan masyarakat dan generasi muda kita dengan ideologi dan narasi ekstremisme-kekerasan.

"Di antara sejumlah agenda mendesak untuk mencegah dan menangani keterpaparan anak-anak usia dini dari ideologi dan narasi ekstremisme-kekerasan adalah dengan menguatkan kemampuan berpikir kritis serta meningkatkan penerimaan atau acceptance atas keberagaman di sekitar mereka," kata dia.

Masyarakat dan generasi muda kita Indonesia sejatinya dibiasakan untuk menghaluskan (sublimate) ketidaksetujuan (disapproval) mereka terhadap yang lain atau yang berbeda (liyan/the others).

Baca Juga: Korban Ledakan SMAN 72 Kelapa Gading Bertambah Jadi 96 Orang, Satu Kritis

"Ketidaksetujuan terhadap keyakinan, pandangan, organisasi, simbol-simbol, atau bahkan ritual yang berbeda bukanlah alasan yang dibenarkan untuk merusak, menghancurkan, atau meniadakan (denial) yang tidak disetujuinya itu," tegas Halili.

Lebih jauh Halili menjelaskan, terpaparnya remaja dengan paham intoleransi hingga ekstremisme terlihat pada data riset SETARA Institute.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rizki Adiputra

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X