Sistem ini dibangun berdasarkan penelitian tentang potensi dan modal yang dimiliki masyarakat untuk mengatasi masalah, seperti jumlah rumah ibadah, penyuluh, dan potensi konflik di suatu daerah.
Kemenag telah melatih tidak kurang dari 500 penyuluh yang dikhususkan untuk deteksi konflik, terutama di daerah dengan potensi konflik yang lebih besar.
“Kita akan terus melakukan penelitian, seperti tentang potensi wilayah yang kira-kira potensi konfliknya lebih besar. Kondisi sosial dan kebangsaan sangat dinamis, sehingga tentu penelitian itu tidak pernah statis. Tidak pernah berlaku selamanya seperti itu, tapi ada dinamika,” paparnya.
“Kita tentu perlu terus mengambil langkah untuk memastikan supaya konsum kita, energi kita, bisa diarahkan ke potensi-potensi daerah-daerah yang potensi konflik,” imbuh Nasaruddin.
Baca Juga: Setelah SPPG Kena Sentil Imbas Keracunan Massal, Terbit Usulan Kantin Sekolah Jadi Dapur MBG
EWS Si-Rukun dirancang untuk menghasilkan output yang terstruktur, yang mencakup Skor Potensi Konflik, Tingkat Respons, Pemetaan Daerah, Rekomendasi, Frekuensi Kasus & Laporan.
Sistem ini juga dilengkapi dengan mekanisme eskalasi yang berfungsi sebagai peringatan dini manakala konflik sosial berdimensi keagamaan berpotensi menjadi lebih besar. ***
Artikel Terkait
Ray Rangkuti Desak Erick Thohir Mundur dari Ketum PSSI: Hindari Konflik Kepentingan Cabor
Tim Reformasi Polri Diisi Anggota dari Kepolisian: Tak Punya Konsep dan Tujuan Jelas, Ada Aroma Konflik Kepentingan
Selamat Ginting Sebut Jokowi Alami Konflik Kejiwaan: Tak Sadar Sudah Tidak Berkuasa
Pakar Hukum Bongkar Akar Konflik MK-DPR, Berebut Kewenangan Legislasi Jadi Pemicu Utama
Imbas Konflik Viral, Dosen UIN Malang Pilih Mundur Usai Diboikot Mahasiswanya Sendiri