KONTEKS.CO.ID - Benny Mordani adalah sosok militer yang sikap politiknya kompleks. Jenderal tempur bintang empat yang tak pernah menduduki jabatan territorial ini ternyata punya peran signifikan dalam membantu perjuangan milisi Taliban di Afganistan.
Di masa perang dingin AS-Uni Soviet, Benny Moerdani lebih memilih berhadapan langsung dengan Uni Soviet dengan cara mendukung perjuangan Taliban yang berideologi Islam konservatif yang ketat.
Sementara dalam lansekap politik Indonesia, Benny Moerdani adalah sosok yang kontroversial. Ia keras terhadap kelompok separatis dan gerakan-gerakan yang mengancam stabilitas. Bahkan Benny si raja intel ini selalu mendapat tuduhan punya sikap 'anti Islam'.
Baca Juga: Kisah Receh Raja Intel Benny Moerdani Mengerjai Jenderal Tjokropranolo
Peristiwa pembantaian umat Islam di Tanjung Priok tahun 1984 sangat lekat dengan nama Benny Moerdani. Sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berlatar belakang intelijen, Benny Moerdani lah yang dituduh sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas peristiwa berdarah tersebut.
Beberapa saat setelah penembakan warga Tanjung Priok, Benny Bersama Try Soetrisno yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Jaya sudah muncul di lokasi kejadian.
Kabarnya, Benny tidak memarahi bawahannya yang menembaki warga. Ia hanya mengingatkan bahwa yang terbunuh adalah saudara sebangsa sendiri. Semakin lengkaplah anggapan publik bahwa Benny anti Islam.
Padahal, kabar menyebutkan bahwa Benny datang ke Tanjung Priok karena perintah Presiden daripada Soeharto untuk 'menyelamatkan' karier militer Try Soetrisno. Belakangan, Try memang menjadi suksesor Benny menduduki pucuk pimpinan militer sebagai Panglima ABRI.
Benny Moerdani Bantu Taliban
Tak banyak yang tahun, beberapa tahun sebelum menjadi Panglima ABRI dan mendapat cap anti Islam, Benny Moerdani pernah punya relasi mesra dengan kelompok Islam garis keras.
Pada 1978, terjadi Revolusi Sahur di Afghanistan mengubah bentuk negara itu menjadi Republik Demokratik Afghanistan yang berhaluan komunis di bawah kepemimpinan Nur Mohammad Taraki sebagai presiden sekaligus perdana menteri.
Setahun kemudian, tepatnya 8 Oktober 1979, Taraki tewas dibunuh wakilnya sendiri, Hafizullah Amin.
Laporan The New York Times menyebut Taraki ditembak saat memimpin rapat dewan revolusi. Namun buku "A Darking Plain" karya Kristen Renwick Monroe menyebut Taraki tewas setelah dibekap dengan bantal hingga tewas di dalam selnya.
Baca Juga: Cerita Tentang Werner Verrips, Agen CIA Perampok Javasche Bank Surabaya yang Tewas Misterius