Baca Juga: Tokoh PKI DN Aidit Pernah Berseteru dengan Jenderal Ahmad Yani, dan Catatan Hari-hari Jelang Meletusnya Peristiwa G30S PKI
Tak hanya itu, Pierre juga mengutarakan keinginannya untuk menyunting gadis tersebut. Pierre akhirnya menemui orang tua Mimin dan mengutarakan harapannya. Kedua pihak pun sepakat untuk menikah pada 21 November 1965.
Sekembalinya ke Jakarta, tepatnya pada sore hari 30 September 1965, Pierre sempat melihat-lihat sebuah pavilion yang akan dikontrakan di Jalan Jambu. Dia berencana akan menempati pavilion itu bersama sang istri kelak.
Gugur di Ultah Sang Ibu
Mengutip sejumlah sumber, pada 30 September 1965 atau 11 jam sebelum kenjadian, Pierre sempat mengajukan cuti untuk pulang ke Semarang. Pasalnya, di hari itu sang ibu, Maria Elizabeth tengah merayakan hari ulang tahun.
Baca Juga: Tokoh PKI Syam Kamaruzaman, Orang Sipil Perancang Operasi G30S PKI yang Gagal Total
Namun karena kegiatan Jenderal AH Nasution belum selesai, Pierre harus tetap standby sampai malam hari. Pierre pun mengirim surat kepada keluarga di Semarang karena tidak bisa pulang merayakan ultah ibunya. Namun dia berjanji akan pulang sehari setelahnya.
Sebagai informasi, Pierre selalu pulang ke Semarang saat sang ibu merayakan ulang tahun.
Sayangnya, hingga hari berlalu, Pierre tak juga menelepon sang ibu. Bahkan sampai beberapa hari setelahnya, tak ada telepon dari Pierre.
Baca Juga: Nurnaningsih, Keturunan Keraton yang Jadi Bom Seks Pertama Era 1950-an, Masa Tua Miris Harta Habis
Hingga akhirnya pada 4 Oktober 1965, pasukan RPKAD dan KKO berhasil menemukan dan mengevakuasi mayat para korban keganasan PKI. Jenazah Pierre berada di paling atas yang menandakan dia yang terakhir gugur.
[irp posts="187273" ]
Hasil visum et repertum menyatakan pada jenazah Pierre terdapat empat luka tembak yang masuk dari bagian belakang dan dua luka tembak yang keluar pada bagian muka.
Baca Juga: Sejarah Lokalisasi Gang Dolly: Mengaku Bukan Germo, Sakit Hati Advenso Dollyres Chavit Terbawa Sampai Mati
Pada 5 Oktober 1965, Pierre bersama keenam perwira lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Tujuh korban keganasan PKI itu lantas mendapat gelar Pahlawan Revolusi.
Rukmini Move On Setelah Tujuh Tahun
Kabar kematian Pierre bak petir di siang bolong bagi keluarga besar Aurelius Lammert Tendean (AL Tendean), nama sang ayah. Begitu juga bagi Rukmini dan keluarga.
Baca Juga: Bang Pi'ie Jawara Pasar Senen: Pejuang Kemerdekaan 1945 yang Jadi Pengendali Bandit Jakarta, Menteri di Era Soekarno, Tolak Kenaikan Pangkat dari Soeharto
Mayat Pierre dan perwira Angkatan Darat lainnya bertumpuk dalam sebuah lubang sumur kecil di Lubang Buaya, Jakarta Timur, dua hari setelah malam nahas tersebut.
Tak mudah bagi Rukmini mendapati kenyataan pahit calon suami gugur terbunuh. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Rukmini untuk bisa kembali membuka hati.
Baru tujuh tahun kemudian Rukmini move on. Ia menikah dengan seorang pegawai bank bernama Suyatna Muharram. Dari pernikahan itu, lahir tiga orang anak dan kemudian menurunkan lima cucu.
Jenderal AH Nasution juga hadir dalam acara pernikahan mereka. Bahkan Buya Hamka menjadi saksi dalam akad nikahnya.
[irp posts="188506" ]
Suami Rukmini meninggal pada 2014. Sementara Rukmini meninggal lima tahun setelahnya, tepatnya pada 27 Juli 2019 di Klaten, Jawa Tengah. Ia terbaring di TPU Kuncen, Yogyakarta, berdekatan dengan pusara kedua orangtuanya.
Baca Juga: Ruud Gullit Si Bunga Tulip Hitam, Kisah Pesepakbola Paling Komplit Sepanjang Masa
Setahun sebelum meninggal, tim penulis buku biografi Pierre Tendean, Novi Rini Drivina, mendatangi Rukmini. Sayang Rukmini enggan membuka kenangan indahnya bersama kekasih masa lalunya.
"Itu privasi saya dan mas Pierre," jawabnya singkat.***