KONTEKS.CO.ID - Saat ini laki-laki yang memiliki rambut gondrong menjuntai menjadi pemandangan lumrah di masyarakat. Namun jangan coba-coba menggondrongkan rambut di era rezim represif Orde Baru (Orba).
Pada masa 32 tahun kekuasaan Presiden daripada Soeharto, ada semacam larangan bagi pemuda untuk berambut gondrong. Berbagai sanksi bakal menjerat mereka yang melanggar peraturan tersebut. Bahkan ada razia khusus bagi mereka yang berambut panjang.
Padahal, meminjam istilah sejarawan Anthony Reid, rambut gondrong bagi laki-laki adalah hal yang sangat melekat dalam tradisi masyarakat Asia Tenggara, termasuk Nusantara. Pada kurun waktu 1450-1680, konon rambut gondrong merupakan perlambang kekuatan dan kewibawaan.
Baca Juga: Kisah Kelam Isaac Newton, Jenius Sains yang Pernah Gagal dalam Investasi Saham
Budaya laki-laki memanjangkan rambut sudah ada sejak zaman Majapahit. Ma Huan, seorang pengembara dari China yang mencatat ondisi masyarakat Majapahit, menggambarkan bahwa para lelaki Majapahit berambut panjang terurai bagi orang kebanyakan. Sedangkan lelaki bangsawan atau kaum berada rambutnya disanggul.
Di masa revolusi kemerdekaan, rambut gondrong bermakna revolusioner. Pemuda berambut gondrong memenuhi jalanan di kota revolusi semisal Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta.
Ali Sastroamidjojo dalam buku "Tonggak-tonggak di Perjalananku" melukiskan para pemuda yang berambut gondrong sebagai kekuatan revolusi di Yogyakarta.
Baca Juga: Benny Moerdani, Raja Intel 'Anti Islam' yang Pernah Bantu Taliban, Saat Meninggal Sempat Dikafani dan Dibacakan Yasin
Sedangkan Fransisca C Fanggidaej dalam buku "Memoar Perempuan Revolusioner" menulis, para pemuda berambut gondrong dengan mata menyala dan bersemangat selalu berteriak "Merdeka" sambil menenteng pistol atau karaben.
Berawal dari Berkembangnya Hippies
Pada era 1960an, Indonesia kedatangan budaya baru yang lagi hits pasca berakhirnya Perang Dunia II, yaitu budaya hippies yang dipopulerkan oleh the flower generation. Budaya itu terbentuk atas perasaan bosan dan muak muda-mudi di Amerika akibat peperangan, terutama perang Vietman yang kala itu tengah berkecamuk.
Seperti bunga, mereka berprinsip untuk menebar keindahan dan kedamaian. Maka muncullah slogan "make love, not war". Muda-mudi hippies ini secara garis besar adalah mereka yang sudah tidak mau lagi diatur dan dikotak-kotakkan.
Baca Juga: Lagu Malam Kudus, Lahir dari Letusan Gunung Tambora dan Orgel yang Rusak
Akibatnya, mulai dari mode (rambut gondrong, jenggot panjang, baju warna warni) hingga segala macam perilaku bebas (seks dan narkotika) mereka praktikkan sebagai bentuk perlawanan terbuka.
.
Dalam buku "Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda 1970an" karya Aria Wiratma Yudhistira pada 2010, budaya bebas ini mendapat sambutan baik dari anak muda Indonesia. Anak muda yang mungkin masih trauma dengan pembantaian besar-besaran para anggota dan simpatisan PKI ini seakan menemukan oase baru.
Namun Presiden daripada Soeharto khawatir budaya ini bakal membuat Indonesia terlihat kotor, barbar, dan "tidak sesuai dengan kepribadian bangsa". Akhirnya Soeharto memerintahkan instansi pemerintahan untuk mencegah budaya hippies semakin marak di Indonesia.
Rezim Represif Orba Larang Rambut Gondrong
Pada masa rezim represif Orba berkuasa, penguasa ini meyakini bahwa pembangunan mental sama pentingnya dengan pembangunan fisik yang kala itu sedang dalam proses pembangunan besar-besaran.
Orba menganggap rambut gondrong sebagai perwujudan sikap urakan, acuh tak acuh, dan menghancurkan citra pembangunan yang sedang gencar digalakkan. Oleh sebab itu, perlu penanggulangan serius terhadap isu rambut gondrong.
Di era Orba, lelaki rambut gondrong mendapat stigma sebagai orang yang tidak baik. Bahkan gaya rambut gondrong ekuivalen dengan para pelaku kriminal.
Baca Juga: Sakiko Kanase, Istri Jepang Soekarno yang Bunuh Diri di Kamar Mandi Karena Cemburu
Maka sejak saat itu para murid sekolah yang laki-laki dilarang berambut gondrong. Tak jarang para guru mengadakan razia rambut dengan membawa gunting dan masuk ke kelas. Para murid yang nekad memanjangkan rambut terancam tidak akan bisa lulus sekolah.
Tidak berhenti di bangku sekolah, aturan anti rambut gondrong ini awet hingga ke perguruan tinggi. Haram bagi mahasiswa memiliki rambut panjang melebihi batas alis mata di bagian depan, batas telinga di bagian samping, dan menyentuh kerah baju di bagian leher belakang.
Seperti halnya murid sekolah, para mahasiswa juga mendapat ancaman tidak bisa mengikuti sidang skripsi jika nekad berambut gondrong.
Baca Juga: GANEFO, Olimpiade Ciptaan Soekarno yang Kontroversial, Bukti Ada Politik dalam Olahraga
Tercatat, razia rambut gondrong kali pertama terjadi pada 8 Desember 1966 di Stasiun Tanah Abang.
Tidak seperti razia pada umunya, razia ini menyisir rambut anak-anak muda yang bergaya serupa potongan rambut anggota band asal Inggris “The Beatles”.
Di Bandung misalnya, sejak akhir Desember 1966, petugas razia yang terdiri dari kesatuan-kesatuan ABRI melakukan penertiban terhadap mode Beatles yang sedang populer kala itu.
Baca Juga: Hukum di Masa Rezim Orba: Nestapa Sengkon Karta, Divonis Tanpa Bersalah Lalu Menderita Sampai Meninggal
Alhasil sekitar 150 remaja yang kebanyakan anak orang kaya terjaring dalam operasi. Razia tersebut, menurut petugas kala itu, merupakan operasi paling berhasil ketimbang operasi-operasi sebelumnya.
Razia Gondrong Taruna Akabri
Di tahun 1970-an, di jalan-jalan Kota Bandung banyak Taruna Akabri Kepolisian menjalankan praktik kerja lapangan seperti mengatur lalu lintas atau berpatroli. Pada waktu itu mode yang populer bagi para pemuda adalah rambut gondrong ala hippies.
Mode itu juga menjangkiti mahasiswa ITB. Namun penguasa Orba kala itu sangat membenci mode yang mereka anggap sebagai kebarat-baratan dan tidak sejalan dengan "nilai-nilai budaya bangsa". Tak heran banyak mahasiswa dan pemuda berambut gondrong kerap jadi sasaran razia para taruna tersebut. Bahkan konon ada aksi gunting rambut paksa di pinggir jalan.