kontekstory

Cerita Awal Tan Ek Tjoan: Asimilasi Lewat Setangkup Roti (2)

Sabtu, 22 Oktober 2022 | 13:00 WIB
Toko roti Tan Ek Tjoan Bogor milik Lidya Elia. (Foto: Facebook Tan Ek Tjoan Bakery Bogor)

 

KONTEKS.CO.ID – Bicara mengenai Tan Ek Tjoan bukan sekadar menyebut merek roti tertua di Indonesia yang akrab dengan keseharian masyarakat Jakarta. Tan Ek Tjoan adalah sebuah narasi sejarah tentang gerakan pembauran (asimilasi) dan semangat untuk melawan dikotomi kaya-miskin .

Pendirinya yang kemudian menjadi merek dagang roti itu, Tan Ek Tjoan, adalah seorang pemuda keturunan Tionghoa yang jago berbisnis. Bersama istrinya yang memang pandai membuat roti, Phoa Lin Nio, Tan memulai usaha roti di rumahnya yang sederhana namun cukup luas daerah Surya Kencana, Bogor, pada 1921. Hingga kini, kawasan Surya Kencana tetap menjadi salah satu sentra kuliner utama di Bogor.

Kombinasi kepandaian membuat roti dan kepiawaian berbisnis membuat usaha mereka berkembang cepat dan populer bagi warga Bogor dan Jakarta. Kala itu, di Bogor banyak tinggal orang Belanda dan warga Indonesia yang kebarat-baratan, terutama orang Tionghoa.

Baca Juga: Kisah Dualisme Merek Roti Legendaris Tan Ek Tjoan (1)


-
Lukisan Tan Ek Tjoan dan istri, Phoa Kie Nio. (Foto: Vifamedia.com)

Sebagai gambaran kepopuleran roti Tan Ek Tjoan, seorang ekspatriat asal Jerman dan pernah 18 tahun tinggal di Indonesia, Horst Henry Geerken, bahkan harus menyuruh sopirnya membeli roti tawar ini di Bogor, 40 kilometer jauhnya dari Jakarta. Alasannya sederhana, “Tan Ek Tjoan adalah satu-satunya roti yang memakai tepung impor,” tulis Geerken dalam A Magic Gecko.

Mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta juga penggemar roti Tan Ek Tjoan. Di dalam buku “Kesaksian Tentang Soekarno”, seorang pengawal Bung Karno bernama Mangil menceritakan, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Megamendung, Bung Hatta berhenti di depan Toko Roti Tan Ek Tjoan di Bogor.

Bung Hatta tidak membeli sendiri. Dia menyuruh Sardi, pengawal Bung Karno, untuk masuk ke toko dan membeli roti. Kata Mangil, “Bung Hatta memberikan uang Rp5 dan Sardi pun membeli roti seharga Rp3,75. Hatta lalu melahapnya.”

Baca Juga: Kisah Receh Raja Intel Benny Moerdani Mengerjai Jenderal Tjokropranolo

Tan Ek Tjoan Pindah ke Jakarta

Pada tahun 1953, keluarga Tan Ek Tjoan pindah ke Jakarta. Kebetulan di kawasan Tamansari, Jakarta Barat, ada rumah keluarga yang cukup besar dan dijadikan toko. Dua tahun kemudian Toko Roti Tan Ek Tjoan pindah ke Jalan Cikini Raya 61, Jakarta Pusat, dan dari situ legenda roti ini bermula. Sayangnya kini toko roti legendaris ini tutup sejak 2015 dan pindah ke Jalan Panglima Polim, Jakara Selatan.

Saat Phoa Lin Nio wafat pada 1958, usaha ini diwariskan kepada kedua anaknya, Tan Bok Nio dan Tan Kim Thay. Tan Kim Thay diserahi memegang toko yang berada di Cikini, Jakarta. Sedangkan Tan Bok Nio memegang toko di Suryakencana, Bogor.

Tan Kim Thay lalu menikah dengan gadis Belanda dan dikarunia dua anak, Robert dan Alexandra. Karena pernah studi ilmu ekonomi di Belanda, di tangan Tan Kim Thay bisnis toko roti itu berkembang semakin pesat. Dari bisnis rumahan, toko bertambah luas hingga tiga kali lipat dari ukuran semula, termasuk membangun pabrik roti.

Baca Juga: Paradoks Luhut Panjaitan: Tak Pernah Telat Naik Pangkat, Namun 'Nangis' di Jabatan

Halaman:

Tags

Terkini