Sejak 1875, Ibrahim Tunggul Wulung menetap di sekitar Gunung Muria hingga wafat pada 1885. Saat ia meninggal, jumlah pengikutnya tercatat 1.058 jiwa.
Tidak semua jemaat melanjutkan ajarannya. Namun, jejaknya tetap hidup sebagai simbol iman yang berakar pada tanah sendiri.
Ia membuktikan bahwa Injil bisa berbahasa Jawa, bernafas budaya lokal, dan berdiri sejajar tanpa harus menjadi bayangan Barat.
Warisan Iman yang Relevan: Pemihakan pada Kemanusiaan
Dalam pengajarannya, Tunggul Wulung kerap menegaskan bahwa iman tidak boleh menjauhkan manusia dari sesama.
“Belas kasihan itu bukan untuk disimpan sendiri. Kalau kita sudah menerima rahmat, kita wajib membagikannya,” tuturnya.
Baca Juga: Eva Braun, 'Si Pirang Bodoh' Istri Sehari Adolf Hitler, Nyatanya Pemain Politik Kunci di Third Reich
Zendeling Jelle Eeljest Jellesma juga mencatat kesan mendalam saat pertama kali bertemu Tunggul Wulung di Mojowarno pada Mei 1853.
“Ia bukan murid biasa. Cara berpikirnya matang, dan ia membaca Injil dengan kacamata Jawa yang sangat dalam,” tulis Jellesma dalam laporannya.
Tentang penginjilannya yang dilakukan tanpa sokongan dana kolonial, laporan Komite Jawa menyebutkan hal ini.
“Meski usianya telah melewati enam puluh tahun, ia berjalan kaki dari desa ke desa, mengabarkan Injil tanpa meminta imbalan apa pun.”
Salah satu pengikutnya di kawasan Bondo pernah mengenang sosoknya dengan penuh hormat.
“Kiai Ibrahim Tunggul Wulung tidak hanya mengajarkan doa, tapi juga cara hidup yang adil, sabar, dan berani,” ujarnya.