Identitas inilah yang kelak membuat ajaran Ibrahim Tunggul Wulung mudah diterima masyarakat Jawa.
Wahyu Sepuluh Hukum dan Jalan Menuju Kristen Jawa
Menurut catatan J D Wolterbeek dalam "Babad Zending ing Tanah Jawi", suatu hari Tunggul Wulung menemukan selembar kertas bertuliskan Sepuluh Hukum Allah di bawah tikar pertapaannya.
Ia mengaku mendapat petunjuk Ilahi agar menaati hukum tersebut dan mencari ajaran agama sejati ke wilayah Sidoarjo dan Mojowarno.
Baca Juga: Jejak Kerusuhan Politik di Indonesia dari Anarkisme Reformasi 1998 Hingga Demo Algoritma 2025
Perjalanan spiritual ini membawanya bertemu Nyai Endang Sampurnawati, yang kemudian menjadi istrinya.
Di Mojowarno, Tunggul Wulung belajar membaca, menulis, dan mendalami Injil langsung dari Jellesma selama dua bulan.
Pada Mei 1855, keduanya dibaptis. Sejak itu, nama Ibrahim melekat pada Tunggul Wulung, menandai fase baru dalam hidupnya sebagai penginjil pribumi.
Pekabaran Injil Rasa Jawa: Yesus adalah Ratu Adil Sejati
Sembari terus belajar, Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga mulai mengabarkan Injil. Bedanya, ia tidak menyebarkan Injil dengan cara Barat. Ia mengenalkan agam Kristen kepada masyarakat Jawa lewat tembang, simbol, dan bahasa keseharian rakyat.
Salah satu warisan terpentingnya adalah tembang Sri Kuning, yang merangkum ajaran Kristologi Yesus sebagai Ratu Adil sejati.
Yesus tidak hanya dipahami sebagai Juruselamat, tetapi juga Raja, Imam, dan Nabi yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Dasa Titah dibaca berdampingan dengan ajaran Matius ayat 5 yang menekankan kelembutan, lapar akan keadilan, dan kasih kepada sesama.
Baginya, belas kasihan Allah bukan untuk disimpan sendiri. Itu harus diteruskan lewat tindakan nyata membangun komunitas yang adil dan saling menolong.