KONTEKS.CO.ID - Mei 1853 menjadi titik balik dalam sejarah kekristenan di Pulau Jawa.
Di Desa Mojowarno, Kabupaten Jombang, seorang zendeling asal Belanda bernama Jelle Eeljest Jellesma bertemu dengan sosok paruh baya berwajah tegas yang kelak dikenal sebagai Tunggul Wulung.
Pertemuan itu tampak sederhana, hanya pemberian sebuah Alkitab.
Namun, dari situlah lahir perubahan besar yang pelan tapi menghantam tatanan sosial keagamaan di Pulau Jawa sekaligus menggoyang pendekatan kekristenan versi penguasa kolonial.
Pria itu kelak dibaptis dengan nama Ibrahim. Sejak saat itu, Ibrahim Tunggul Wulung tidak hanya menjadi pengikut Injil, tetapi juga pembawa tafsir lokal tentang Kristus yang berbicara langsung kepada batin masyarakat Jawa.
“Dia belajar dengan kesungguhan yang luar biasa. Pertanyaannya tajam dan reflektif,” tulis Jelle Eeljest Jellesma dalam salah satu catatannya.
Dari Ngabdullah ke Tunggul Wulung
Nama aslinya adalah Ngabdullah. Ia lahir di wilayah Kawedanan Juwana dekat Jepara, Jawa Tengah. Dalam laporan Residen Jepara, Ngabdullah muda dikenal sebagai petani biasa.
Hidupnya berubah saat sistem tanam paksa atau cultuurstelsel menyebabkan ekonomi Jepara terpuruk pada 1840.
Tekanan hidup mendorongnya merantau ke Kediri. Di lereng Gunung Kelud, Ngabdullah memilih jalan sunyi sebagai pertapa.
Di sanalah ia mengganti nama menjadi Tunggul Wulung, nama yang lekat dengan mitologi Jawa sebagai tokoh sakti pada masa Kerajaan Kediri.
Dalam Serat Babad Kadhiri, Tunggul Wulung dikenal sebagai figur penjaga moral, simbol keteguhan, dan pengawas kejahatan.