Pada saat Romawi berhadapan dengan mereka di dalam lubang, pasukan Sassaniyah cepat menutup terowongan.
Setelah itu, pasukan Sassaniyah merusak jalur lubang dengan cara membakar bahan kimia. Ini dibuktikan dengan temuan kristal belerang dan aspal dalam terowongan.
Baca Juga: Tanpa Polisi Istimewa, Takkan Ada Hari Pahlawan: Menguak Peran M Jasin di Balik Pertempuran 10 November 1945
Pemeriksaan ulang dilakukan pada tahun 2009. Beberapa bukti tambahan menjelaskan peristiwa yang terjadi selama pengepungan.
Menurut arkeolog, terowongan itu terlalu sempit untuk pertempuran dan diragukan adanya kontak fisik.
Pasukan-pasukan ini tidak tewas seketika di dalam terowongan. Meskipun tidak ada catatan kapan pengepungan terakhir, arkeolog mendapatkan petunjuk bahwa pasukan di dalam terowongan tewas karena bahan kimia.
Dura-Europos pernah digali pada tahun 1920-an dan 1930-an oleh arkeolog Perancis dan Amerika. Mereka menemukan lubang yang digali orang Persia Sassaniyah dan digali lagi oleh orang Romawi.
Arkeolog juga menemukan sekitar 19 kerangka tentara Romawi dan seorang prajurit Sassaniyah di dalam terowongan.
Baca Juga: Vespa Kongo, Jejak Keberanian Pasukan Garuda di Jalan Perdamaian Dunia
Arkeolog dari Universitas Leicester, Prof Simon James, menyebutkan, Sassaniyah menggunakan gas beracun untuk membunuh pasukan Romawi.
Ketika belerang dan aspal dimasukkan ke dalam pembakaran, maka akan tercipta gas yang membuat manusia tersedak dan racun asam sulfat masuk melalui rongga hidung pasukan Romawi.
Dalam beberapa menit, pasukan Romawi yang berada di dalam terowongan tewas. Seorang prajurit Sassaniyah mengorbankan dirinya untuk menggunakan senjata kimia, sehingga ikut tewas di dalam terowongan bersama tentara Romawi.
Setelah terowongan bersih dari gas, pasukan Sassaniyah menumpuk tubuh pasukan Romawi di pintu lubang sebagai benteng pengadang serangan musuh.
Pasukan Sassaniyah mengadang serangan menara lain yang berada di ujung selatan dinding barat. Sebuah terowongan kemudian dibesarkan untuk menyerang menara.
Baca Juga: Sie Kong Lian, Sosok Penting di Balik Pekik Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928: Bapak Kos Para Tokoh Pemuda yang Hibahkan Rumah demi Sejarah Indonesia
Tetapi pasukan kota itu berhasil menghentikan penggalian lubang. Musuh menggali terowongan lain untuk menembus kota dari bawah tanah.
Pada akhirnya, pasukan musuh berhasil memasuki kota, penduduk kota dipaksa berbaris menuju Ctesiphon. Sebagian lainnya dijual sebagai budak, kota dijarah dan tidak pernah dibangun ulang.
Dihimpun dari berbagai sumber, senjata kimia versi zaman dulu atau orang menyebutnya jadul, adalah panah beracun, meracuni air, dan menyebarkan penyakit dengan mayat terinfeksi pes.
Berikutnya pedang beracun, menyebarkan debu untuk merusak penglihatan musuh, bom sarang lebah, panah api, madu beracun, bom kalajengking, semburan api, dan lain-lain.
Dari Fritz Haber hingga Oppenheimer
Penggunaan senjata kimia terus berlanjut dan bentuk dan jenisnya pun berevolusi seiring penelitian yang dilakukan ilmuan dan kemajuan teknologi.
Dilansir dari Wikipedia, sebelum masuk kampus dan menjadi ai kimia terkemuka, Fritz Haber bekerja pada bisnis kimia milik ayahnya. Di situ, pria Jerman ini mengembangkan proses Haber bersama Carl Bosh.
Proses Haber merupakan pembentukan katalis amonia dari hidrogen dan nitrogen atmosfer ke bawah keadaan suhu dan tekanan tinggi. Atas penemuannya itu, Haber meraih Hadiah Nobel Kimia pada 1918.
Haber juga aktif dalam penelitian reaksi pembakaran, pemisahan emas dari air laut, pengaruh adsorpsi, dan elektrokimia.
Ia juga memainkan peran utama dalam pengembangan perang kimia menyusul keberhasilannya menciptakan dan mengembangkan gas beracun seperti klorin, fosgen, dan gas mustard.
Dalam studinya mengenai gas beracun, Haber menemukan hubungan matematika yang mudah antara konsentrasi (C) gas dan jumlah waktu (t) yang mana itu dihirup, diperlihatkan sebagai C x t = k, di mana k ialah tetapan.
Dengan kata lain, pembukaan pada tingkat rendah gas selama masa panjang dapat menyebabkan akibat yang sama, yakni kematian, sebagai pembukaan konsentrasi tinggi selama waktu singkat. Hubungan ini dikenal sebagai kaidah Haber. Ia juga mengembangkan pembentukan gas sianida Zyklon B.
Gas beracun hasil temuan Haber itu kemudian digunakan oleh Hitler. Atas penemuannya itu, Fritz Haber kerap dijuluki sebagai "Bapak Perang Kimia".
Haber menikah dengan Clara Immerwahr yang juga ilmuan kimia. Tragisnya, Clara bunuh diri pada 1915. Aksi itu sebagai bentuk protes diamnya terhadap pekerjaan Haber.
Sosok fisikawan lainnya yang mengembangkan senjata kimia adalah Julius Robert Oppenheimer asal Amerika Serikat (AS). Dia mendapat julukan "Bapak Bom Atom".
Julukan tersebut terkait hasil risetnya saat mengelola proyek Manhattan mulai tahun 1942. Setahun berselang, pria kelahiran Kota New York, AS, itu menjadi kepala proyek Laboratorium Los Alamos di New Mexico. Ia ditugaskan untuk mengembangkan senjata nuklir pertama.
Pada 16 Juli 1945, Oppenheimer menyaksikan uji coba perdana bom atom Trinity. Pada pertengahan Agustus 1945, senjata tersebut digunakan untuk melawan Jepang dalam pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.
Kebrutalan Senjata Kimia Tewaskan Jutaan Orang
Pada perang dunia pertama yang berkecamuk mulai 28 Juli 1914 - 11 November 1918 berpusat di Benua Biru, Eropa, merupakan era penggunaan senjata kimia terbilang brutal dan dahsyat.
Berdasarkan laman Geeks for Geeks, Jerman mulai menggunakan senjata kimia dengan melancarkan serangan menggunakan klorin di Ypres, Belgia.
Aksi tersebut berlangsung pada Perang Ypres kedua pada 22 April 1915 dan menewaskan sekitar 5 ribu tentara Perancis dan Algeria," tulis laman tersebut.
Bukan hanya klorin, Jerman juga menggunakan berbagai gas dan moster. Tim sekutu lantas membalasnya dengan aksi serupa.
Sementara itu, laman History melansir sebuah laporan tahun 2011. Berdasarkan laporan tersebut, lebih dari 9,7 juta tentara meregang nyawa dari semua negara yang terlibat dalam Perang Dunia I.
Bukan hanya tentara, sebanyak 6,8 juta jiwa penduduk sipil juga tewas karena perang, kelaparan hingga genosida.
Berdasarkan laporan tersebut, tingginya angka korban jiwa pada Perang Dunia I memang bukan hanya gegara senjata kimia, tetapi juga dampak kian canggihnya teknologi persenjataan.
Pada perang tersebut menggunakan kapal selam, pesawat, dan pertama kalinya senapan mesin digunakan hingga zat beracun alias senjata kimia atau pemusnah massal dan pelontar api (flamethrower).
Data lain menyebut, lebih dari 1,3 juta orang terdampak senjata kimia, sebanyak 91 ribu orang di antaranya tewas.
Sedangkan dari pihak Rusia, sekitar 500 ribu tentara terdampak senjata kimia. Adapun di pihak Amerika Serikat, sepertiga tentara dari total korban selama Perang Dunia I lantaran senjata kimia.
Beragam Zat dan Jenis Senjata Kimia
Banyak zat beracun di dunia. Namun, tidak semuanya cocok digunakan untuk senjata kimia. Dilansir dari CNN, sejak tahun 1900, hanya ada belasan zat yang bisa dipakai.
Ketentuan zat beracun bisa digunakan untuk senjata kimia, di antaranya wajib sangat beracun dan mudah dibuat. Selain itu, harus mampu menahan panas jika digunakan pada bom, ranjau, atau hulu ledak.
Berikutnya, zat kimia juga harus tahan terhadap air dan oksigen di atmosfer supaya efektif ketika terdispersi.
Sejumlah bahan kimia yang dinilai mematikan, di antaranya sarin, tabun, soman, dan VX. Zat kimia tersebut dapat membunuh hampir seketika.
Disebut senjata kimia karena zat berbahaya mematikan atau melumpuhkan tersebut disertakan dalam peluru artileri, ranjau darat, bom udara, hulu ledak, rudal, peluru mortir, granat, tangki semprot atau dengan berbagai cara untuk mengirimkan kepada target.
Genosida Gas Beracun Ala NAZI
Setelah Perang Dunia I mereda, penggunaan gas beracun masih terjadi di Jerman. Pada 1933, NAZI berhasil mengambil alih kekuasaan.
Pemimpin NAZI, Hitler, sempat melakukan genosida dengan program "Pemurnian Ras Arya". Ia bahkan membantai umat Yahudi menggunakan gas beracun.
Mereka menggiring orang Yahudi masuk ke dalam sebuah kamp militer dan menempatkannya di ruangan tertutup. Lantas gas beracun dimasukkan ke dalam ruangan tersebut.
Hitler bahkan sempat memerintahkan Fritz Haber sang penemu senjata kimia untuk menembak mati semua pegawainya yang keturunan Yahudi.
Haber menolak dan lebih memilih mengundurkan diri jabatannya. Ia menulis surat, di antaranya menyampaikan, selama lebih dari 40 tahun bekerja, memilih partner kerja bukan lantaran latar belakang dan keturunannya.
Ia bersikeras tidak akan mengubah sistem rekrutmen yang telah diterapkannya puluhan tahun. "I am not willing to change this method which I have found so good,” tulis dia.
Sikap tegas Haber membuat Hitler murka. Namun ia tak bisa memberikan sanksi karena jasa terkait senjata kimia dan reputasi Haber di mata dunia internasional.
Selepas itu, kondisi kesehatan "Bapak Perang Kimia" tersebut menurun dan terus memburuk. Akhirnya, Haber tutup usia pada 29 Januari 1934.***