Oleh sebab itu, Asvi Warman Adam menegaskan bahwa 1998 bukan sekadar krisis ekonomi, melainkan krisis legitimasi politik yang menghancurkan fondasi Orde Baru.
Pasca-Reformasi: dari Harapan ke Kekecewaan
Era pasca-reformasi melahirkan demokrasi multipartai, tapi juga kekecewaan. Meski pemilu berjalan bebas, DPR dan partai politik dianggap jauh dari rakyat.
Ariel Heryanto dalam "State Terrorism and Political Identity in Indonesia" (2006) menulis, reformasi membuka ruang demokrasi, tetapi elite politik sering kali melanggengkan kepentingan mereka sendiri.
Aksi besar pun berulang. Pada 2019, mahasiswa turun menolak revisi UU KPK. Pada 2020, ribuan buruh menolak Omnibus Law Cipta Kerja, yang berujung bentrokan. Dalam peristiwa ini, aparat kembali menyebut ada penyusup "anarko".
Sosiolog UGM Andreas Budi Widyanta mengingatkan bahwa istilah anarko kerap disalahartikan.
"Anarkis mengkritik kekuasaan yang melanggengkan hierarki dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial," ujarnya pada Rabu, 3 September 2025.
Aksi Massa 2025: Gelombang Baru Ketidakpuasan Publik
Dua puluh tujuh tahun setelah Reformasi, jalanan kembali bergolak. Aksi besar-besaran pecah pada 25 Agustus hingga 1 September 2025.
Isunya beragam:
- Tunjangan DPR Rp100 juta per bulan yang dianggap berlebihan.
- Kebijakan PBB-P2 yang memicu gelombang protes dari Bone hingga Pati.
- Tragedi Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas akibat kendaraan taktis Brimob.
Narasi pembubaran DPR pun mencuat, sesuatu yang dulu tabu, kini jadi topik publik.
Puncaknya, kemarahan rakyat meluas hingga ke simbol-simbol kekuasaan. Rumah dinas sejumlah anggota DPR menjadi sasaran penjarahan, bahkan kediaman pribadi Menteri Keuangan Sri Mulyani juga ikut dirusak massa.
Peristiwa ini menandai eskalasi baru bahwa rakyat tidak hanya turun ke jalan, tapi juga langsung menyasar representasi nyata dari kekuasaan yang mereka anggap gagal berpihak.