Sri Bhagawan Shantika Buana, cucu Raja Anak Agung Gede, menceritakan, Tantri datang dengan mobilnya yang mogok karena kehabisan bensin. Kemudian ia meminta izin untuk menginap di sana.
“Setelah menginap beberapa hari dan ada kecocokan, lalu dia diangkat menjadi anak. Mungkin karena rasa kasihan dari kakek-nenek saya,” ujarnya.
Momen ini diabadikan Tantri di dalam buku otobografinya berjudul Revolt In Paradise atau Revolusi di Nusa Damai.
"Kau kami namakan K'tut, yang dalam bahasa Bali berarti anak keempat. Segera akan kupanggil Pedanda. Menurut adat leluhur kami, kau akan kami beri nama lain, yang akan merupakan nama yang ditakdirkan untukmu," tuturnya menirukan perkataan ayah angkatnya, Raja Klungkung.
Belajar Budaya Bali dan Sempat Membangun Hotel
Selama tinggal di Puri Bangli itulah K’tut Tantri mempelajari adat dan istiadat masyarakat Bali. Di sinilah rasa kecintaannya terhadap alam budaya dan masyarakat Indonesia tumbuh.
Keberadaannya di Bangli belakangan terendus oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga membuatnya terancam dideportasi.
Sikapnya yang hanya berkumpul bersama orang-orang pribumi sangat tak disukai Belanda. Terlebih ia suka berkeliling lingkungan dengan mengenakan pakaian adat Bali.
Tindakan Tantri mencintai bangsa Indonesia membuat Belanda marah bahkan sempat diancam dideportasi. Namun status kewarganegaraannya membuat Belanda berhitung dua kali untuk memulangkannya ke Amerika.
Mendapatkan berbagai hak istimewa karena tinggal di Puri sebagai Keluarga Kerajaan, Tantri lalu memutuskan angkat kaki dari Istana dan tinggal di tengah masyarakat Bali.
Baca Juga: Dentuman Hidup Ozzy Osbourne, Pangeran Kegelapan Pengusung Heavy Metal yang Ngerock Hingga Ajal
Pesisir Barat Pantai Kuta menjadi lokasi yang dipilih Tantri untuk tinggal menetap di Pulau Dewata.
Pengalamannya bermalam di Bali Hotel menginspirasinya membangun sebuah hotel yang menerima tamu dari berbagai bangsa pada 1936.
Hotel ini diberi nama Suara Segara dan sempat beroperasi beberapa tahun sebelum dihancurkan pada masa pendudukan Jepang.
Pada awal 1942, saat isu kedatangan pasukan Jepang mulai santer terdengar di kalangan masyarakat Bali, K’tut Tantri memutuskan pindah ke Surabaya, Jawa Timur.