kontekstory

Kisah Sri Sultan HB IX Biayai APBN dari Kocek Pribadi, tapi Tak Mau Rakyatnya Tahu

Minggu, 15 Juni 2025 | 09:15 WIB
Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono atau HB IX saat bertemu Presiden Soekarno. Ia berperan dalam pembiayaan APBN pertama kalinya. (Pramuka DIY)

Baca Juga: Kisah Brutal Neo Nazi Era Kini: 10 Pembunuhan, 15 Perampokan Bank, dan Tiga Serangan Bom

Saat Proklamasi 17 Agustus 1945 bergema, Sri Sultan Hamengkubuwana IX segera mengambil sikap. Dua hari setelah proklamasi, ia mengirim telegram ucapan selamat kepada para Proklamator. 

Dua pekan setelahnya, tepatnya 5 September 1945, Raja Yogyakarta bersama Paku Alam VIII mengeluarkan maklumat bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia.

Sri Sultan juga mengikhlaskan diri meminta para pendiri bangsa untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Permintaan itu ia sampaikan karena kondisi Jakarta yang  tak lagi aman. 

Baca Juga: Sejarah Gelar Haji: Cuma Ada di Indonesia, Awalnya Taktik Kolonial Belanda Redam Perlawanan

Saat itu, Jakarta ada dalam pengawasan ketat pasukan NICA dan sekutu. Sehingga situasinnya tak mendukung untuk menjalankan pemerintahan. 

Para pemimpin negara lalu mengadakan rapat terbatas pada 1 Januari 1946 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Kemudian sepakat mengendalikan jalannya pemerintahan dari lingkup daerah. 

Lalu pada 2 Januari 1946, Sri Sultan menyarankan agar ibu kota dipindahkan sementara ke Yogyakarta. 

Baca Juga: Xanana Gusmao 'Che Guevara' dari Timor Leste; Pejuang Humanis Tanpa Dendam, Bestie Habibie, Musuh Soeharto

Selama pemerintahan Republik berada di Yogyakarta, semua urusan pendanaan pemerintah diambil dari kas Keraton Yogyakarta. 

Mulai dari gaji staf, operasional tentara, sampai biaya perjalanan dan akomodasi delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri untuk berunding. 

Mengutip laman Pemprov DIY, Sri Sultan Hamengkubuwana IX tak pernah mengingat-ingat berapa jumlah yang sudah dikeluarkan. Karena baginya hal itu adalah bagian dari perjuangan. 

Baca Juga: Legenda Ken Arok, Pemuda Jawa Penghalal Segala Cara Demi Kekuasaan

Bahkan ia memberikan amanat kepada anak-cucunya agar tidak menghitung-hitung apa yang sudah diberikan kepada Republik. Terlebih meminta kembali harta Keraton yang sudah disumbangkan untuk bangsa ini.

Tak Dikenal Dunia, Sri Sultan Bantu Kenalkan Soeharto kepada Dunia

Sejarah Indonesia memang mengalami pasang-surut. Salah satunya saat Orde Lama yang dipimpin Soekarno ditumbangkan oleh Soeharto dan menjelma menjadi Orde Baru. 

Pada awal rezim baru tersebut, kepercayaan negara-negara dunia kepada bangsa ini tengah berada di level terendah. 

Baca Juga: Mikhail Kalashnikov, Pencipta Senapan Serbu 'Sejuta umat' AK-47 yang Merasa Berdosa di Akhir Hidupnya

Tak ada pemimpin negara lain yang mengenal Soeharto. Ditambah Indonesia sedang dijauhi oleh bangsa lain karena sikap antiasing yang melekat kuat pada akhir Order Lama. 

Di sinilah Sri Sultan HB IX kembali berperan. Ia berkeliling dunia untuk bisa meyakinkan para pemimpin negara-negara sahabat bahwa Indonesia masih ada, dan dirinya tetap menjadi bagian dari negara itu. 

Secara perlahan, kepercayaan dunia terhadap Indonesia kembali pulih. Sayangnya, fakta sejarah tersebut juga tak terdokumentasikan di pelajaran sejarah Indonesia.

Baca Juga: Rukmini, Tunangan Pierre Tendean yang Butuh Waktu Move On 7 Tahun

Sejarah mencatat, Sri Sultan Hamengkubuwana IX telah mendapatkan kepercayaan untuk berada dalam pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. 

Pejuang kemerdekaan ini pernah menjabat sebagai Menteri Negara pada era Kabinet Sjahrir (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) sampai Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949). 

Lalu pada masa Kabinet Hatta II (4 Agustus - 20 Desember 1949) hingga masa Republik Indonesia Serikat atau RIS (20 Desember 1949 - 6 September 1950) sebagai Menteri Pertahanan. 

Baca Juga: Sejarah NIAC Mitra: Klub Karyawan yang Disponsori Rumah Judi, Raja Galatama yang Pernah Menaklukkan Arsenal

Beliau juga sempat menjadi Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (6 September 1950 - 27 April 1951).  

Sejumlah jabatan juga pernah ia emban pada masa Pemerintahan Soeharto. Hingga menjadi Wakil Presiden RI yang kedua pada 1973 dan mengundurkan diri pada 23 Maret 1978. 

Sri Sultan beralasan ingin hidup tenang. Sebab kesehatan matanya secara periodik harus dilakukan pemeriksaan oleh dokternya di luar negeri.

Namun, untuk selebihnya ia mengaku masih cukup kuat untuk melakukan berbagai kegiatan.***

Halaman:

Tags

Terkini