KONTEKS.CO.ID - Mereka berdua bukan menteri, bukan negosiator, bukan diplomat. Mereka adalah orang muda yang umurnya baru 25 tahun. Tetapi mereka memilih berdiri melawan diam dan akan membawa suara dari tanah kelahiran mereka ke ruang paling strategis di dunia: Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), COP30, di Brasil.
Mereka membawa seruan dari akar rumput, tentang tanah yang tergerus tambang, hutan yang dirampas, dan suara generasi muda yang selama ini disingkirkan dari diskusi iklim global. Keduanya juga menuntut hak atas ruang, keadilan ekologis, dan pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai garda depan perlindungan bumi.
Salah satu dari mereka adalah Iqbal Kaplele (25 tahun), pemuda adat dari Suku Sobey, Papua. Lahir di tengah kedamaian hutan wilayah adat Mamta, Iqbal tumbuh menyaksikan kehijauan yang perlahan memudar.
"Kita harus berhenti berpura-pura Bumi baik-baik saja. Kami, orang muda, adalah yang paling terdampak krisis iklim, tapi justru paling jarang diajak bicara," kata Iqbal, yang kini menjadi aktivis lingkungan dari 'Papua Trada Sampah'.
Baca Juga: Enam Calon Dubes RI Jalani Uji Kelayakan di DPR, Termasuk Indroyono Soesilo dan Kartini Sjahrir
Pernyataan Iqbal bukan sekadar opini pribadi. Ini adalah kenyataan yang dihadapi jutaan orang muda di belahan dunia Selatan. Generasi muda adalah kelompok yang akan mewarisi dampak paling panjang dari krisis iklim, karena mereka menjalani masa depan yang dibentuk oleh keputusan-keputusan hari ini. Ironisnya, mereka masih sering dikecualikan dari proses pengambilan keputusan.
Di tengah dunia yang memanas, keterbatasan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, informasi, serta tekanan mental akibat ketidakpastian masa depan, keterlibatan mereka dalam forum seperti COP30 adalah wujud hak yang harus diakui.
Bersama Vanessa Reba (24 tahun) dari Gerakan Malamoi yang juga aktif dalam pemberdayaan pemuda, Iqbal tergabung dalam 23 pemuda Indonesia yang menyusun Deklarasi Pemuda Global untuk Keadilan Iklim melalui inisiatif organisasi Kolombia, Life of Pachamama.
Baca Juga: Regulasi Ini Membuat Telkomsel Berani Hanguskan Sisa Kuota Internet Pelanggan yang Tak Terpakai
Bersama ratusan orang muda dari berbagai negara, deklarasi ini akan disampaikan langsung dalam forum resmi COP30, yang akan digelar pada November 2025 di Belém, Brasil. Deklarasi ini menegaskan bahwa orang muda tidak boleh diposisikan sekadar sebagai penerima kebijakan, melainkan sebagai aktor kunci dalam mengatasi krisis iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan mewujudkan keadilan lingkungan.
Vanessa mengungkapkan, "Melalui deklarasi ini, saya berharap bahwa suara orang muda, terutama dari kelompok yang terpinggirkan secara geografis dan struktural, dapat benar-benar diakui dan diberi ruang dalam pengambilan keputusan global. Keterlibatan ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan saya sebagai advokat muda adat yang berkomitmen membawa perubahan dari akar, membangun masa depan yang adil dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.”
Tanah yang Luka
Vanessa dan Iqbal membawa cerita dari tanah yang tak hanya kaya sumber daya, tapi juga luka. Papua kini perlahan terkikis oleh ekspansi tambang dan perkebunan. Namun dari tanah yang tergerus, suara mereka justru tumbuh paling kuat.
Sebagai orang asli Papua, Vanessa selalu merasa memiliki ikatan kuat dengan akar budayanya dan tanggung jawab besar untuk berkontribusi bagi komunitas. Sebagai anak muda Suku Saireri, Vanessa terus berjejaring bersama orang muda di berbagai wilayah melalui berbagai macam organisasi di Indonesia.
Sebagai pemuda adat Suku Sobei, Iqbal menyoroti masih terbatasnya ruang formal yang benar-benar memberikan tempat bagi suara orang muda dalam kebijakan iklim di Indonesia.
"Tantangan terbesar yang saya hadapi sebagai pemuda adat adalah sempitnya ruang partisipasi bagi orang muda dalam pengambilan keputusan iklim. Meski ada mekanisme seperti Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dan Forum Anak Indonesia, keduanya belum efektif dan perlu dievaluasi agar benar-benar melibatkan suara pemuda dalam kebijakan, termasuk iklim," ujarnya.
Baca Juga: Nico Williams Dipagari Athletic Bilbao dengan Kontrak Super-Lama: Hingga Tahun 2035
Ia juga percaya bahwa keterlibatannya dalam deklarasi global ini mempunyai makna besar bagi komunitas lokal dan wilayah adatnya. "Terutama tanah Papua yang termasuk benteng terakhir pertahanan iklim dunia setelah rusaknya sebagian besar Hutan Amazon, dan sebagai benteng terakhir bagi Indonesia melawan laju krisis iklim global setelah rusaknya hutan Sumatera dan Kalimantan," tambahnya.
Keterlibatan mereka dalam deklarasi ini dimulai dari program pelatihan pemuda oleh Life of Pachamama, yang mempertemukan orang muda dari seluruh dunia dalam diskusi soal demokratisasi ruang iklim. Deklarasi ini disusun lebih dari 600 pemuda dari berbagai belahan dunia. Hal tersebut merupakan hasil dari 30 lebih sesi pelatihan dan dialog antar generasi yang mendalam, mengangkat isu keterlibatan pemuda, keadilan iklim, hak atas informasi, dan perlindungan pembela lingkungan.
Deklarasi tersebut memuat seruan moral dan agenda konkret dalam peta jalan pemuda menuju COP30. Lima agenda utama yang mereka bawa adalah memastikan partisipasi yang bermakna dalam kebijakan lingkungan, memperjuangkan desentralisasi berbasis wilayah, menuntut akuntabilitas korporasi atas kerusakan lingkungan, melindungi pembela lingkungan muda, serta mendorong keterbukaan informasi dan pembentukan observatorium pemuda.
Tiga Isu Besar
Direktur Eksekutif Life of Pachamama, Juan David Amaya, menegaskan bahwa deklarasi ini bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi pernyataan strategis atas peran yang harus diemban oleh pemuda dari belahan dunia Selatan dalam membentuk tata kelola sosial-lingkungan dunia.
"Deklarasi ini adalah afirmasi politik dan strategis atas peran pemuda dari belahan dunia Selatan dalam membentuk arah tata kelola sosial-lingkungan global. Ini bukan sekadar simbolik, melainkan latihan kepemimpinan yang memiliki kapasitas dan legitimasi," ujarnya.
Bagi Iqbal, suara yang ia bawa ke COP30 merupakan cerminan dari perjuangan panjang masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan dalam diskusi iklim global. Keterlibatannya membawa tanggung jawab besar.
"Saya akan membawa tiga isu besar dari Indonesia ke COP30: hak masyarakat adat, deforestasi, dan pertambangan. Kalau kita serius dalam menangani perubahan iklim, RUU Masyarakat Adat merupakan solusi iklim yang kritikal," katanya lantang.
Artikel Terkait
Perubahan Iklim, Salju Abadi di Puncak Jaya Mencair
Green Lifestyle, Gaya Hidup yang Mendukung Pengendalian Perubahan Iklim
Hadapi Perubahan Iklim, DKI Tingkatkan Kerja Sama Bilateral dengan Gubernur Tokyo
Institut USBA Desak Pemerintah Cabut IUP PT Gag Nikel dan Audit Kerusakan Lingkungan Raja Ampat
Bukan 5 Perusahaan, Greenpeace Sebut Ada 12 Izin Tambang Nikel di Geopark Raja Ampat