KONTEKS.CO.ID - Pemerintah Indonesia telah menetapkan ambisi besar untuk menjadi pusat pengembangan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (SAF) di Asia Tenggara, dengan menargetkan produksi 1 juta kiloliter pada tahun 2030.
Namun, di balik target hijau yang ambisius ini, terdapat sebuah konsekuensi besar yang akan berdampak langsung pada dompet seluruh penumpang pesawat di Indonesia, yakni harga SAF saat ini 2 hingga 3 kali lebih mahal daripada avtur fosil biasa.
Dilema harga ini menjadi tantangan utama yang harus dihadapi. Jika maskapai penerbangan diwajibkan beralih ke SAF demi target nol emisi, biaya operasional mereka akan meledak.
Baca Juga: Mudik ke Italia Tinggalkan Persib, Federico Barba Ingin Dekat Keluarga Fokus Pemulihan Kesehatan
Pada akhirnya, lonjakan biaya ini hampir pasti akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga tiket pesawat yang jauh lebih mahal.
Pemerintah kini mengakui masalah ini dan sedang menyiapkan penyeimbang fiskal serta kemungkinan penetapan harga dasar (price floor) untuk memberi kepastian, yang intinya berarti subsidi besar dari negara atau harga tiket yang melambung tinggi.
Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno, pada Jumat, 14 November 2025, menjelaskan bahwa target 1 juta kiloliter ini sebenarnya melampaui kebutuhan domestik. Proyeksi kebutuhan dalam negeri hanya 860 ribu kiloliter pada 2029.
"Dengan kapasitas produksi terbaru, kita akan memiliki surplus sekitar 23 persen, yang dapat diekspor," kata Eddy kepada wartawan mengutip Sabtu, 15 November 2025.
Di sisi lain, untuk mencapai target produksi raksasa ini, Indonesia akan bergantung pada sebuah harta karun yang selama ini terbuang percuma seperti minyak jelantah.
Bagi masyarakat umum dan pelaku usaha kuliner, limbah dapur ini kini akan bertransformasi menjadi komoditas ekonomi bernilai tinggi.
Eddy Soeparno memaparkan, potensi minyak jelantah nasional yang bisa dikumpulkan mencapai 715 kiloton per tahun.
Ironisnya, saat ini hanya sekitar 20-23 persen dari limbah jelantah tersebut yang berhasil dihimpun secara benar. Sisa 77 persennya, atau lebih dari 500 ribu ton, dibuang percuma, seringkali menyumbat saluran air dan merusak lingkungan.
"Ini menunjukan urgensi membangun sistem koleksi nasional yang terintegrasi antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pelaku industri," ujar Eddy. Ini adalah peluang ekonomi sirkular baru bagi warga untuk menjual limbah dapur mereka ke industri.
Artikel Terkait
Kejagung Periksa Eks Direktur SDM Antam Soal Korupsi Minyak Mentah Pertamina
Demi Amankan Pasokan Pertalite dan LPG, Pertamina Rombak Total Tiga Anak Usaha Raksasanya
Dirut Pertamina Klaim BBM di Jatim Aman Usai Cek 560 SPBU, Tetap Siapkan 32 Bengkel untuk Keluhan Motor 'Brebet'
Bobibos Siap Diproduksi Massal Tahun Depan: Dilirik Luar Negeri, Pertamina Siap Kolaborasi
Gara-Gara BBM Langka, Konsumen Shell Terpaksa Pindah ke Pertamina dan Layangkan Gugatan