KONTEKS.CO.ID - Ia pernah bersantap di restoran elite Moskow, menamatkan buku-buku yang bahkan belum disentuh dosennya, dan menyandang gelar doktor dari salah satu universitas ekonomi paling bergengsi di Uni Soviet.
Namun di masa tuanya, Soesilo Ananta Toer, adik kandung Pramoedya Ananta Toer justru menjalani hari dengan mendorong sepeda tua, memungut botol plastik di jalanan Blora.
Kisah Soesilo adalah potret paling kontras dari sejarah Indonesia, tentang kecerdasan yang tak mendapat tempat, tentang ilmu yang kalah oleh stigma, dan tentang martabat yang tetap dijaga di tengah keterpinggiran.
Masa Kecil Penuh Keprihatinan
Mengutip Wikipedia, Soesilo Ananta Toer lahir pada 17 Februari 1937. Ia tumbuh di Jetis, Kecamatan Blora, dalam keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan dan literasi.
Ayahnya, Mastoer, yang kemudian mengubah namanya menjadi Toer saja karena menurutnya, 'Mas' berbau feodal merupakan guru sekaligus aktivis Boedi Oetomo.
Sedangkan ibunya, Siti Saidah, wafat saat Soesilo berusia empat tahun, meninggalkan sembilan anak dalam kondisi ekonomi yang kian terjepit.
Ia lahir sebagai anak ketujuh, pada masa ketika keluarga Toer tak lagi berada dalam kemapanan seperti saat kakaknya, Pramoedya, dilahirkan.
Utang menumpuk, surat-surat tanah dijual, dan sekolah Institut Boedi Oetomo yang dipimpin sang ayah, perlahan runtuh akibat Ordinansi Sekolah Liar Hindia Belanda tahun 1932.
Dalam situasi itu, Pramoedya yang telah yatim-piatu justru mengambil peran sebagai pengasuh adik-adiknya, termasuk Soesilo yang ia anggap sebagai adik kebanggaannya.
Cari Uang Sendiri
Dididik keras dan disiplin, Soesilo tumbuh menjadi anak tekun. Saat keluarga pindah ke Jakarta pada 1950, ia bersekolah di Taman Siswa dengan uang saku Rp10 per bulan.
Kekurangan jajan membuatnya mencari jalan sendiri, menulis. Pada usia 13 tahun, tulisannya sudah dimuat di Majalah Kunangkunang terbitan Balai Pustaka dengan judul Aku Ingin Jadi Jenderal.