KONTEKS.CO.ID - Analis Ekonomi Politik dan Co-Founder FINE Institute, Kusfiardi menyebut bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra sejak kini berkembang menjadi krisis kemanusiaan terbesar usai tsunami 2004 lalu.
Dia pun menyinggung bahwa bencana tersebut seharusnya sudah memenuhi indikator bencana nasional.
Menurut Undang-undang No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, status bencana nasional ditetapkan jika korban dalam jumlah besar.
Dalam bencana kali ini terjadi kerusakan yang meluas dan lintas-wilayah serta penanganan melebihi kapasitas daerah.
"Semua indikator ini telah terpenuhi secara jelas. Korban meninggal hampir 1.000 jiwa dan terus bertambah. Wilayah terdampak sudah mencakup 53 kabupaten/kota, meliputi setengah wilayah tiga provinsi besar," ujar Kusfiardi dalam keterangan tertulis, Jumat 12 Desember 2025.
Tanpa status bencana nasional, kata dia, bantuan internasional tidak bisa masuk dan moratorium utang daerah tidak dapat diterapkan.
"Pendanaan APBN sulit digelontorkan cepat. Koordinasi BNPB–TNI–Polri terbatas. Penegakan hukum terhadap deforestasi penyebab banjir melambat," katanya.
Padahal, kata Kusfiardi, Menko PMK Pratikno sudah menyatakan bahwa penanganan ini 'sudah berskala nasional'.
Baca Juga: Baru Pulang dari Luar Negeri, Prabowo Kembali Masuk 'Zona Bencana': Gaspol Tinjau Sumatera
"Sebuah pengakuan tanpa formalitas hukum," ucapnya.
Argumen pemerintah pusat, deklarasi formal belum diperlukan karena dukungan pusat telah berjalan.
Presiden Prabowo Subianto pun telah meninjau lapangan dan menjanjikan bantuan Rp60 juta per rumah rusak berat.
"Namun, bantuan ini hanya menyasar permukiman. Bukan rekonstruksi jembatan, sistem irigasi, rumah sakit, maupun perbaikan logistik nasional," jelasnya.