nasional

Pakar Atmosfer dan Kebumian ITB Ungkap Penyebab Bencana di Sumatera: Tak Melulu soal Langit!

Jumat, 28 November 2025 | 19:10 WIB
Visualisasi pola angin pada lapisan 850 hPa tanggal 24 November 2025 pukul 22.00 WIB berdasarkan data model GFS dari NCEP-US National Weather Service. (Sumber visual: Earth.Nullschool)

KONTEKS.CO.ID – Para pakar Institut Teknologi Bandung (ITB), khususnya dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), tertarik menganalisa bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatera.

Terutama wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan sekitarnya. Bencana melanda wilayah ini sejak 24 November 2025 lalu hingga sekarang.

Puluhan orang meninggal dunia dan masih banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya. Belum lagi dampak kerusakan yang ditimbulkannya.

Baca Juga: Pasar Durian China Menggoda, Indonesia Siap Bersaing

Pakar Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB memandang fenomena ini adalah dampak dari interaksi antara faktor atmosfer, kondisi geospasial, dan kapasitas tampung wilayah.

Keadaan Atmosfer dan Puncak Musim Hujan

Secara klimatologis, daerah Sumatera bagian utara memang sedang berada pada puncak musim hujan. Berbeda dengan beberapa wilayah lain di Indonesia, wilayah ini memiliki distribusi hujan sepanjang tahun dengan kemungkinan dua kali puncak musim hujan.

Ketua Program Studi Meteorologi, Muhammad Rais Abdillah, dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, menjelaskan, karakteristik curah hujan di wilayah ini memang berbeda dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Baca Juga: Korban Tewas Banjir Asia Tenggara Melampaui 250 Orang, Indonesia Waspada

“Memang wilayah Tapanuli sedang berada pada musim hujan, karena Sumatera bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun atau dua puncak hujan dalam satu tahun. Sekarang ini berada pada puncaknya,” paparnya, Jumat 28 November 2025.

Curah hujan pada periode tersebut tergolong sangat lebat. Berdasarkan data lapangan dan laporan media, sejumlah wilayah mencatat curah hujan lebih dari 150 milimeter.

Bahkan terdapat stasiun BMKG yang mencatat curah hujan lebih dari 300 milimeter, yang dikategorikan sebagai curah hujan ekstrem.

Sebagai perbandingan, curah hujan ekstrem di Jakarta pada awal Januari 2020, yang menyebabkan banjir besar di Jabodetabek, hingga mencapai sekitar 370 milimeter dalam satu hari.

Baca Juga: Cegah Banjir Lahar Dingin Mematikan, BMKG dan BNPB Kerja Bareng Gelar Operasi Modifikasi Cuaca Gunung Semeru

Kondisi di Sumatera Utara pada akhir November 2025 ini memiliki karakteristik curah hujan yang mendekati peristiwa Jakarta 2020 tersebut. Jadi tak mengherankan jika dampak banjir dan longsornya cukup luas dan signifikan.

Halaman:

Tags

Terkini