Siklon Tropis Senyar Ditambah Penguatan Sistem Presipitasi
Menurut Rais, fenomena atmosfer yang memperkuat hujan ekstrem ini menunjukkan ciri khas adanya pusaran atau sirkulasi siklonik di sekitar wilayah Sumatera bagian utara.
“Pada tanggal 24 November sudah mulai terlihat adanya sistem yang berputar dari Semenanjung Malaysia. Dalam meteorologi, kita menyebutnya sebagai vortex, walaupun saat itu masih berupa bibit dan matanya belum terlihat jelas,” katanya.
Fenomena ini berkembang menjadi sistem Siklon Tropis Senyar, yang terbentuk di sekitar Selat Malaka dan bergerak ke arah barat. Meski tidak terlalu kuat seperti siklon di Samudera Hindia atau Pasifik, sistem ini cukup untuk melonjakan suplai uap air, memperkuat pembentukan awan hujan, sekaligus memperluas cakupan presipitasi di Sumatera bagian utara.
Baca Juga: Anne Jakrajutatip Diburu Polisi Thailand, Miss Universe 2025 Kian Diterpa Kontroversi
Bukan hanya itu, Rais juga mengungkap adanya pengaruh fenomena atmosfer skala meso dan sinoptik. Seperti vortex siklonik dan indikasi cold surge vortex, yaitu hembusan angin kuat dari utara yang membawa massa udara lembap serta memperkuat pembentukan awan hujan.
Kondisi ini memecut meningkatnya intensitas presipitasi dan memperbesar risiko banjir di daerah Sumatera Utara.
Dampak Penurunan Kapasitas Tampung Wilayah
Selain sisi atmosfer, pakar geospasial ITB menilai bahwa kerusakan lingkungan, perubahan tutupan lahan, dan menurunnya kapasitas tampung wilayah menjadi faktor penting yang memperburuk dampak banjir.
Dosen Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Heri Andreas, dari Kelompok Keahlian Sains Rekayasa dan Inovasi Geodesi, menjelaskan, banjir tidak hanya tentang hujan. Namun juga tentang bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi.
Baca Juga: Update Dugaan Korupsi EDC BRI: Penyidik KPK Kejar Informasi Aliran Uang dari 2 Saksi Ini
“Saat presipitasi turun, sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai (runoff). Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah,” paparnya.
Heri menambahkan, kawasan dengan tutupan vegetasi alami seperti hutan dan rawa memiliki kemampuan serapan air yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah yang telah berubah fungsi. Baik itu menjadi permukiman, perkebunan, atau area terbuka tanpa vegetasi.
Ketika kawasan tersebut terdegradasi, kemampuan infiltrasinya menurun signifikan dan menyebabkan peningkatan runoff yang jauh lebih besar.
“Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir,” ujarnya.
Baca Juga: Update Banjir Bandang dan Longsor di Sumatra: 72 Orang Tewas
Menurutnya, penataan ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, dan pemodelan geospasial sangat penting untuk mitigasi jangka panjang.
Artikel Terkait
Bobibos Lagi Viral, Pakar UGM Ingatkan: Jangan Ulangi Drama Blue Energy di Era SBY
Pakar Vulkanologi ITB Ungkap Faktor yang Membuat Gunung Semeru ‘Mengamuk’ Tak Terduga
Pakar Ungkap Penyebab Musofa Badak Jawa yang Mati di Ujung Kulon
Bobby Nasution Respons soal Kayu Gelondongan di Banjir Sumut, Prioritaskan Evakuasi dan Logistik Warga
Korban Tewas Banjir Asia Tenggara Melampaui 250 Orang, Indonesia Waspada