KONTEKS.CO.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi memperlihatkan sejumlah foto yang menjadi bukti kondisi kapal-kapal tua dalam kasus dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
Dalam bukti yang dipaparkan, terlihat jelas kondisi fisik kapal yang sudah berumur tua dan membutuhkan perawatan ekstra.
Bahkan, dari total 53 kapal yang diakuisisi, penyidik menemukan adanya kapal yang diproduksi tahun 1959 atau kini telah berusia 66 tahun.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa data ini membantah anggapan publik yang menilai para terdakwa, termasuk mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi, tidak bersalah.
"Jadi kapal yang digunakan untuk penyebrangan itu ada yang tahun 59, sudah lebih dari 60 tahun gitu, dan itu kan juga sangat berbahaya, yang dipertaruhkan itu adalah nyawa para penumpang," ujar Asep kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, sebagaimana dikutip Konteks.co.id dari laman Tirto.id, Senin, 24 November 2025.
Baca Juga: Suasana Haru dan Doa Jelang Hari Terakhir Pencarian 16 Korban Longsor Banjarnegara
Asep membeberkan bahwa PT Jembatan Nusantara diduga memanipulasi data tahun pembuatan kapal menjadi lebih muda. Akibatnya, sebanyak 16 dari 53 kapal yang dibeli kini tidak dapat beroperasi karena terkendala biaya perawatan yang belum lunas.
Lebih lanjut, KPK juga menyoroti harga pembelian kapal bekas tersebut yang dinilai tidak wajar jika dibandingkan dengan aset yang sudah dimiliki ASDP sebelumnya.
Asep mencontohkan perbandingan antara KMP Port Link 5 milik ASDP buatan tahun 2011 seharga Rp100,3 miliar dengan KMP Mabuhay Nusantara dari Jembatan Nusantara buatan tahun 1990 yang dibeli seharga Rp108,9 miliar.
"Harganya ini Rp108 miliar 969 juta 200 ribu," tuturnya.
Selain masalah fisik kapal, Asep mengungkapkan adanya rekayasa aturan di internal direksi untuk memuluskan proses akuisisi.
Hal ini terlihat dari perubahan Keputusan Direksi Nomor 35 menjadi Nomor 86 yang berlaku hanya tujuh bulan, sebelum akhirnya diubah lagi menjadi Nomor 237.
Perubahan aturan tersebut diduga dilakukan untuk menghapus pasal-pasal pengecualian yang sebelumnya menghambat proses kerja sama.