Namun, di balik dimensi ekstremisme itu, tragedi SMAN 72 juga membuka luka sosial lain; perundungan (bullying) yang tak tertangani dengan serius. Fakta bahwa pelaku berusia 17 tahun dan kerap menjadi korban perundungan di sekolah menjadi cermin kegagalan sistem pendidikan dalam membangun lingkungan yang aman dan berkeadilan bagi semua siswa.
“Fakta spesifik bahwa terduga pelaku sering menjadi korban perundungan harus memantik perhatian para pemangku kepentingan di lembaga pendidikan, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah,” kata Azeem.
Ia menegaskan, perundungan di sekolah tidak bisa dianggap persoalan ringan. Dampaknya bukan hanya meninggalkan trauma mendalam, tetapi juga dapat memicu siklus kekerasan yang lebih ekstrem.
“Perundungan terbukti tidak saja menyakiti para korban, bahkan menghilangkan nyawa korban, tetapi juga menjerumuskan korban pada berbagai anomali, hingga pada tingkatan yang ekstrem, dari balas dendam hingga ekstremisme-kekerasan seperti yang terjadi di SMAN 72 Jakarta,” tandasnya.
Menurut Azeem, tragedi di SMAN 72 harus dijadikan wake-up call nasional. Negara, sekolah, dan masyarakat mesti sadar bahwa radikalisme dan intoleransi kini menemukan lahan baru di kalangan remaja, terutama ketika mereka merasa terpinggirkan, diabaikan, atau menjadi korban kekerasan sosial.***