KONTEKS.CO.ID - Sebuah ancaman kesehatan dan lingkungan yang sangat serius kini sedang "terparkir" di wilayah Cikande.
Sebanyak 426,6 ton limbah material yang terkontaminasi zat radioaktif berbahaya, Cesium-137, untuk sementara waktu ditampung di pabrik PT Peter Metal Technology (PMT).
Keberadaan ratusan ton limbah nuklir ini tidak hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga membongkar misteri besar mengenai asal-usulnya.
Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Cesium-137 kini menghadapi tugas monumental: apa yang harus dilakukan dengan limbah berbahaya ini? Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN, Syaiful Bakhri, pada Rabu, 29 Oktober 2025, memaparkan skenario yang suram.
Pilihan pertama adalah membiarkannya meluruh secara alami, sebuah proses yang akan memakan waktu 30 tahun. Ini berarti limbah tersebut harus disimpan secara aman di satu lokasi selama tiga dekade.
Baca Juga: Kapolda NTT Gandeng GP Ansor Dorong Ketahanan Pangan di Nusa Tenggara Timur
Pertanyaan besarnya adalah, di mana? Syaiful menegaskan bahwa lokasi PT PMT saat ini hanyalah tempat penampungan sementara.
Lokasi final untuk penyimpanan jangka panjang atau pengolahan masih belum ditentukan. Penentuan lokasi permanen ini harus melalui kajian aspek lingkungan, keselamatan, dan perizinan ketat dari Bapeten, sebuah proses yang dipastikan tidak akan mudah.
Opsi kedua adalah pengolahan aktif. Limbah tanah yang terkontaminasi Cesium-137, kata Syaiful, secara teori bisa direduksi volumenya.
Ini melibatkan proses kimia dan fisika yang rumit untuk memisahkan kontaminan radioaktif dari tanah yang bersih.
Namun, ia juga mengakui bahwa metode mana yang akan dipakai baru bisa diputuskan setelah investigasi atas kasus ini selesai sepenuhnya.
Di sinilah letak masalah yang lebih dalam, satgas bahkan tidak tahu dari mana asal limbah radioaktif ini. Kontaminasi ini dikonfirmasi berasal dari scrap metal (logam bekas) yang ada di PT PMT. Namun, ketika ditelusuri, jejaknya hilang.
Ketua Divisi Diplomasi Satgas, Bara Hasibuan, mengungkapkan bahwa PT PMT kini telah berhenti beroperasi, sehingga proses wawancara untuk melacak sumber scrap tersebut mustahil dilakukan.