nasional

Institut USBA: Ketimbang Duplikasi Lembaga, Lebih Baik Prabowo Revisi Keberadaan BP3OKP

Kamis, 9 Oktober 2025 | 11:22 WIB
Presiden Prabowo lantik ketua dan anggota Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (Foto: YouTube/Sekretariat Presiden)

Adapun, dampak yang berpotensi muncul antara lain birokrasi kompleks. Pasalnya, dua lembaga dengan tujuan serupa memperlambat koordinasi.

Baca Juga: Kejuaraan Dunia Junior 2025: Tim Beregu Campuran Indonesia Gas Pol ke Perempatfinal

Kemudian, inefisiensi sumber daya, akibat tumpang tindih anggaran dan program. Lalu, adanya konflik kewenangan karena tidak ada kejelasan pembagian fungsi antara Komite Eksekutif dan BP3OKP serta pemerintah daerah, dalam hal ini gubernur dan bupati sebagai eksekutif.

"Kelembagaan Otsus kini menjadi seperti rumah dengan banyak pintu, tapi tanpa peta. Tiap pemerintahan datang dengan papan nama baru, sementara fondasi tetap rapuh," kata Imbir.

Sentralisasi Kekuasaan di Balik Narasi Percepatan

Dari perspektif politik, pembentukan komite eksekutif mencerminkan sentralisasi baru di bawah wajah birokrasi modern, bukan desentralisasi substantif sebagaimana amanat Otsus.

Menurut Imbir, semua proses pembentukan dan pelantikan berlangsung di Jakarta, tanpa partisipasi masyarakat adat maupun representasi daerah.

Padahal, semangat Otsus Papua adalah self-governance, yakni menempatkan Orang Asli Papua (OAP) sebagai subjek pembangunan, bukan objek administratif.

Kemudian, penerbitan keppres yang membentuk komite baru untuk percepatan pembangunan otsus juga dapat dilihat sebagai langkah sentralisasi kekuasaan.

Baca Juga: Harga Emas Antam Tembus Rp2,3 Juta per Gram Hari Ini, Tren Kenaikan Belum Reda

Imbir menilai, langkah ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah pusat tidak mempercayai efektivitas BP3OKP dan berpotensi melemahkan otonomi khusus itu sendiri.

"Papua tidak membutuhkan lebih banyak meja di Istana, tetapi ruang keputusan di tanahnya sendiri. Komite ini menandakan pemerintah masih memandang Papua sebagai objek pengelolaan, bukan wilayah politik yang memiliki hak menentukan masa depannya," tegas Imbir.

Implikasi Hukum dan Tata Pemerintahan

Secara hukum tata negara, lanjut Imbir, Keppres 110P/2025 menunjukkan ketidaksesuaian dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan. Dia mengatakan, pembentukan lembaga baru di luar UU Otsus dan tanpa revisi terhadap Perpres sebelumnya adalah bentuk ketidaktaatan terhadap prinsip hukum positif.

Hal ini setidaknya menciptakan preseden buruk bagi sistem kelembagaan nasional, inkonsistensi kebijakan publik, risiko kebocoran fiskal dan lemahnya pengawasan pembangunan.

Baca Juga: Memaknai Hari Surat Menyurat Internasional: Merajut Kehangatan Lewat Tulisan

"Setiap kali struktur baru lahir tanpa refleksi kritis atas kinerja yang lama, maka pembangunan hanya menjadi siklus administratif tanpa substansi transformasi sosial," jelas Imbir.

Halaman:

Tags

Terkini