KONTEKS.CO.ID - Mantan Ketua Komisi Yudisial, Prof. Aidul Fitriciada Azhari, menyuarakan keprihatinannya terhadap kecenderungan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berpotensi menjadi "Judicial Leviathan".
Istilah yang dipinjam dari filsuf Thomas Hobbes ini merujuk pada sebuah lembaga yudikatif yang kekuasaannya menjadi tak terbatas dan serakah, dengan "tentakel" yang mengambil alih kewenangan lembaga negara lainnya.
Menurutnya, fenomena ini mengubah negara hukum (rule of law) menjadi "pemerintahan oleh hakim" (government by judges).
Baca Juga: Ungkap Rahasia HP Rp2 Jutaan Galaxy A17, Salah Satunya Dipersenjatai AI dan Kamera 50 MP Anti-Goyang
Dalam kondisi ini, kehendak rakyat yang direpresentasikan oleh parlemen digantikan oleh opini sembilan orang hakim.
"Prof. melihat bahwa MK di kita saat ini cenderung akan menjadi judicial leviatan yang dalam banyak hal juga punya sisi banyak sisi negatif," ujar Prof. Aidul dalam video yang tayang di kanal Youtube Forum Keadilan TV pada Minggu, 28 September 2025.
Kecenderungan menjadi "Judicial Leviathan" ini, menurut Prof. Aidul, terlihat dari beberapa putusan dan sikap MK di Indonesia.
Baca Juga: Di Sidang PBB, Menlu Rusia Tuding NATO-Uni Eropa Nyatakan Perang, Trump dan Eropa Balik Tekan
Salah satu contoh paling awal adalah ketika MK melalui putusannya menafsirkan bahwa dirinya tidak boleh diawasi oleh Komisi Yudisial (KY).
Putusan tersebut kemudian membatasi kewenangan KY hanya untuk mengawasi hakim agung dan hakim di bawahnya, menjadikan hakim konstitusi satu-satunya pejabat yudikatif yang tak tersentuh pengawasan eksternal dari KY.
Langkah ekspansif lainnya adalah saat MK mengambil alih kewenangan legislatif DPR, seperti dalam putusan terbaru mengenai jadwal pemilu.
Baca Juga: Cerita Bidkum Polda Metro Jaya Awasi Gelar Perkara Kasus Perusuh Demo Akhir Agustus
MK yang sebelumnya menyerahkan pilihan model pemilu serentak kepada DPR, kini justru memilih sendiri salah satu model dengan alasan DPR bekerja lambat.
Fenomena ini, menurut Prof. Aidul, diperparah oleh apa yang ia sebut "estetika hukum", di mana keagungan visual gedung, narasi, dan simbol-simbol persidangan MK menciptakan kesan superioritas.