KONTEKS.CO.ID - PPATK lahir dari UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Intinya, PPATK menerima, menyimpan, menganalisis, dan mengevaluasi laporan transaksi keuangan, lalu menyalurkannya ke aparat penegak hukum serta memberi rekomendasi kebijakan pencegahan pencucian uang.
Secara fungsional, PPATK ibarat "intelijen keuangan" negara.
Baca Juga: Tere Liye Kritik Tunjangan Pajak BUMN: Saatnya Semua Pegawai Bayar Pajak Sendiri
Mereka tidak punya kewenangan menahan atau membekukan rekening secara langsung, tapi bisa merekomendasikan pemblokiran lewat bank, OJK, atau aparat hukum.
"PPATK harus jadi benteng terakhir ketika bank lambat, OJK reaktif, dan BI tidak menutup celah sistem pembayaran," kata Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch.
PPATK punya akses ke data lintas bank, sektor, dan jaringan internasional, sehingga potensinya untuk memetakan arus uang ilegal sangat besar.
Baca Juga: Tere Liye Kritik Tunjangan Pajak BUMN: Saatnya Semua Pegawai Bayar Pajak Sendiri
Mengapa Lompatan Kuantum Dibutuhkan Jika PPATK tetap hanya sebagai pusat laporan, aliran uang haram bisa terus merajalela.
Dengan teknologi canggih, PPATK bisa memetakan jaringan rekening judi secara real-time menggunakan graph analytics.
Hasilnya bukan laporan tebal tapi dashboard interaktif yang bisa diakses aparat hukum.
Pemblokiran otomatis juga memungkinkan. Saat pola clustering setoran kecil ke pengepul terdeteksi, PPATK dapat mengeluarkan rekomendasi pemblokiran massal ke seluruh bank.
Proses ini harus dipermanenkan lewat MoU dengan OJK dan BI.