KONTEKS.CO.ID - Pendapatan hotel, jumlah pengunjung objek wisata, dan penjualan jasa perjalanan serta perhotelan di Indonesia mengalami penurunan pada paruh pertama 2025.
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Haryadi Sukamdani, periode ini sebagai ‘masa sulit’ bagi industri.
GIPI mencatat pendapatan hotel turun antara 30–40 persen pada enam bulan pertama 2025.
Baca Juga: Kementerian UMKM dan Kemenpar Berkolaborasi Perkuat UMKM di Kawasan Pariwisata
Sementara jumlah pengunjung ke destinasi populer seperti Ancol Dreamland (Dunia Fantasi), taman hiburan terbesar di Jakarta, menurun sekitar 15 persen.
Maskapai penerbangan, spa, dan layanan rekreasi lainnya juga melaporkan penurunan penjualan akibat melemahnya belanja domestik dan ketatnya anggaran pemerintah.
Haryadi saat Rapat Koordinasi Nasional GIPI di Jakarta, baru-baru ini, menyebutkan tantangan regulasi turut menambah tekanan pada industri.
Baca Juga: Eksis Sejak 22 Tahun, JFC 2025 Perkuat Citra Pariwisata Jember di Kancah Dunia
Tantangan ini meliputi operator tanpa izin, seperti vila ilegal dan biro perjalanan tak bersertifikat, pembatasan tur, serta penerapan kebijakan yang tidak konsisten.
Haryadi menyoroti tindakan baru-baru ini terhadap vila ilegal di Puncak, Jawa Barat, yang juga menjerat bisnis resmi, termasuk proyek ekowisata Eiger Adventure Land senilai USD50 juta dan beberapa hotel terdaftar, terkait dugaan pelanggaran lingkungan.
“Setelah bisnis melalui proses perizinan, muncul pertanyaan baru mengenai persyaratan lingkungan atau zonasi bisa menjadi gangguan,” katanya.
Baca Juga: Bidik Turis Asia Tenggara, Kemenpar Perkuat Kolaborasi Pariwisata Melalui ASEANTA
“Jika operator berizin dihentikan sementara dan yang tak berizin tetap beroperasi, ini menunjukkan aturan tidak selalu diterapkan merata,” jelas Haryadi.
Untuk menghadapi tantangan pariwisata Indonesia, GIPI merancang serangkaian inisiatif, dengan pameran Wonderful Indonesia Tourism Fair (WITF) edisi kedua di Jakarta, 9–12 Oktober 2025, sebagai pusatnya.