• Minggu, 21 Desember 2025

LBH Pers Desak Pemerintah Batalkan Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

Photo Author
- Selasa, 11 November 2025 | 18:34 WIB
Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional dinilai sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi (Foto: Instagram/@cendana.archives)
Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional dinilai sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi (Foto: Instagram/@cendana.archives)
KONTEKS.CO.ID – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mendesak Presiden Prabowo Subianto membatalkan atau mencabut gelar Pahlawan Nasional Soeharto
 
"Mendesak Presiden RI untuk mencabut Keppres No. 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada H.M. Soeharto," kata LBH Pers dalam pernyataan sikap pada Selasa, 11 November 2025.
 
LBH Pers juga mendesak Presiden Prabowo serta Ketua Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon, untuk melakukan permintaan maaf terbuka kepada insan pers dan masyarakat atas langkah yang melukai perjuangan kebebasan pers di Indonesia.
 
 
LBH Pers mendesak pemerintah atau negara berkomitmen untuk melindungi kebebasan pers tanpa intervensi politik atau tekanan kekuasaan.
 
"Menolak segala bentuk upaya rehabilitasi figur represif yang telah merusak fondasi demokrasi dan kemerdekaan pers," katanya.
 
LBH Pers menyatakan, pemberian gelar Pahlawan Nasional Kepada Soeharto sangat menyakitkan bagi pers Tanah Air. 
 
 
Pasalnya, Seharto mempunyai jejak hitam di dunia pers. Pada era pemerintahan Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Soeharto, jurnalis, pekerja media, dan semua pihak dalam ekosistem pers hidup di bawah tekanan. 
 
"Di bawah kekuasaan Orba, masyarakat termasuk pers yang dipaksa tunduk pada narasi tunggal negara," ujarnya. 
 
Media kritis dibungkam melalui pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Upaya menjalankan fungsi kontrol sosial dan menyuarakan kritik terhadap kekuasaan justru mengancam keselamatan, baik secara profesional maupun pribadi.
 
 
Pada era Soeharto pula sejumlah media dibredel, di antaranya Harian Indonesia Raya pada tahun 1974 karena memberitakan dugaan korupsi dan penyimpangan proyek pembangunan.
 
Selain itu, Harian Indonesia Raya melakukan liputan peristiwa 15 Januari 1974 (Peristiwa Malari). Pemimpin redaksi Mochtar Lubis, ditahan tanpa proses hukum yang adil.
 
Selanjutnya, pada tahun 1978, Soeharto membredel sejumlah pers mahasiswa atau kala itu disebut koran kampus, yakni Gelora Mahasiswa, Balairung, dan Arena UGM.
 
 
Koran kampus tersebut diberangus setelah pemberitaan dan aksi penolakan terhadap Soeharto yang terpilih kembali sebagai presiden untuk ketiga kalinya. 
 
Rentetan protes dari berbagai kelompok mahasiswa kemudian melahirkan kebijakan represif lainnya yang membatasi ruang gerak mahasiswa, yakni Normalisasi Kebijakan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan atau NKK/BKK yang juga turut menuai protes lanjutan.
 
 
Terbaru, Soeharto membredel Tempo, Editor, dan Detik pada tahun 1994. Pembredelan dilakukan oleh Menteri Penerangan Harmoko setelah media tersebut memberitakan polemik pembelian kapal perang bekas Jerman Timur oleh B.J Habibie. 
 
"Pembredelan ini menjadi simbol puncak represi Orde Baru terhadap pers," ujarnya.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Setiawan Konteks

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X