KONTEKS.CO.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai telah beberapa kali memperluas kewenangannya sendiri melalui putusan-putusannya, seringkali dengan mengambil alih wewenang yang seharusnya menjadi domain lembaga lain.
Pakar Hukum Tata Negara sekaligus mantan Ketua Komisi Yudisial (KY), Prof. Aidul Fitriciada Azhari, membeberkan beberapa contoh konkret dari langkah ekspansif yang dilakukan oleh MK.
Menurut Prof. Aidul, salah satu langkah perluasan kewenangan paling awal dan fundamental adalah ketika MK menolak untuk diawasi oleh Komisi Yudisial. Melalui putusannya, MK membatasi lingkup kerja KY.
Baca Juga: Demo 30 September 2025, Jumhur Hidayat Minta Buruh Tak Ikut Terlibat: Fokus Revisi UU Ciptaker
"Itu dimulai dengan putusan MK menafsirkan bahwa dirinya tidak boleh diawasi oleh Komisi Yudisial," ungkap Prof Aidul dalam sebuah diskusi pada Minggu, 28 September 2025.
"Kemudian kewenangan Komisi Yudisial dibatasi hanya pada hakim dan hakim agung sehingga dia tidak bisa mengawasi Mahkamah Konstitusi," tambahnya.
Putusan ini secara efektif menjadikan hakim konstitusi satu-satunya pejabat yudikatif di Indonesia yang kebal dari pengawasan etik eksternal oleh KY.
Baca Juga: Ungkap Rahasia HP Rp2 Jutaan Galaxy A17, Salah Satunya Dipersenjatai AI dan Kamera 50 MP Anti-Goyang
Langkah ekspansif lainnya adalah penafsiran MK mengenai sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Prof Aidul menjelaskan, dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pilkada berada dalam rezim pemerintahan daerah (Pasal 18), terpisah dari rezim Pemilihan Umum (Pemilu) yang diatur dalam Pasal 22E.
Kewenangan MK secara eksplisit adalah menangani sengketa hasil Pemilu, yang tidak mencakup Pilkada.
Baca Juga: Di Sidang PBB, Menlu Rusia Tuding NATO-Uni Eropa Nyatakan Perang, Trump dan Eropa Balik Tekan
"Tetapi dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi itu kemudian menafsirkan ya bahwa Pilkada itu bagian dari pemilu sehingga dia memperluas kewenangannya," jelas Prof Aidul.
Selain itu, MK juga kerap mengambil alih kewenangan legislatif DPR dengan dalih lambatnya proses di parlemen.
Dengan menggunakan doktrin open legal policy, MK menjustifikasi tindakannya untuk memutuskan hal-hal yang seharusnya menjadi ranah politik DPR.
Artikel Terkait
Matius Fakhiri-Rumaropen Resmi Menang Pilkada Gubernur-Wagub Papua, MK Tolak Gugatan
Tok! Palu MK Patahkan Gugatan Syarat Polisi Wajib Sarjana, Pemohon Dianggap Tak Punya Kepentingan Hukum
Nasib Rangkap Jabatan Menteri Pascaputusan MK, KPK Punya 5 Rekomendasi Menarik untuk Prabowo
MK Terbelah Hebat Soal UU TNI: 4 Hakim Sebut Cacat Prosedur dan Desak Perbaikan, tapi Kalah Suara
MK Sampaikan Ini Soal Pembuat UU Bangkang Putusan