• Senin, 22 Desember 2025

KPK Sita Dua Aset Mantan Staf Ahli Menaker Terkait Dugaan Pemerasan RPTKA, Total Rp53,7 Miliar

Photo Author
- Minggu, 28 September 2025 | 18:48 WIB
Penyitaan aset mantan Staf Ahli Menaker, Haryanto. (Dok Official KPK)
Penyitaan aset mantan Staf Ahli Menaker, Haryanto. (Dok Official KPK)

KONTEKS.CO.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita dua aset milik Haryanto, mantan Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional era Menaker Yassierli.

"Aset tersebut berupa kontrakan seluas 90 meter persegi di Cimanggis, Kota Depok, dan rumah seluas 180 meter persegi di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat," ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan di Jakarta, Minggu 28 September 2025.

Penyitaan dilakukan pekan lalu dan terkait dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di lingkungan Kemenaker. Haryanto termasuk salah satu dari delapan tersangka kasus RPTKA tersebut.

Baca Juga: Nagita Nadila Posumah Raih Super Tiket PB Djarum 2025, Anak Manado Ini Siap Tembus Tahap Karantina

Dugaan Sumber Dana Aset Haryanto

Menurut KPK, kedua aset dibeli secara tunai dengan dugaan dana berasal dari pemerasan kepada para agen tenaga kerja asing (TKA).

"Kedua aset tersebut kemudian diatasnamakan kerabatnya," jelas Budi. Kasus ini mengungkap total kerugian sekitar Rp53,7 miliar selama periode 2019–2024 dari praktik pemerasan pengurusan RPTKA.

Daftar Tersangka Kasus RPTKA

Selain Haryanto, KPK telah menetapkan tujuh orang lainnya sebagai tersangka, yaitu Suhartono, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.

Para tersangka ditahan secara bertahap yaitu kloter pertama empat tersangka pada 17 Juli 2025 dan kloter kedua pada 24 Juli 2025.

Baca Juga: KPK Bongkar Skema Bertingkat Korupsi Kuota Haji, Oknum Biro Hingga Pimpinan Kemenag Diduga Terlibat

Kronologi Dugaan Pemerasan RPTKA

RPTKA menjadi persyaratan penting bagi TKA untuk bekerja di Indonesia. Apabila RPTKA tidak diterbitkan, izin kerja dan izin tinggal akan terhambat, sehingga pemohon harus membayar denda Rp1 juta per hari.

Kondisi ini diduga dimanfaatkan para tersangka untuk memungut uang secara ilegal.

KPK menyebut dugaan praktik pemerasan ini telah terjadi sejak era Menaker Abdul Muhaimin Iskandar (2009–2014), dilanjutkan Hanif Dhakiri (2014–2019), hingga Ida Fauziyah (2019–2024).

"Setiap tingkatan mendapat bagian sendiri-sendiri," terang Budi, menegaskan kasus ini bersifat sistematis dan bertingkat.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rat Nugra

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X