KONTEKS.CO.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melayangkan kritik tajam terhadap sejumlah ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah.
Lembaga antirasuah itu menilai, sedikitnya tiga pasal dalam RUU tersebut berpotensi melemahkan kewenangan KPK dan menghambat proses pemberantasan korupsi di Indonesia.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan pihaknya telah melakukan serangkaian kajian internal dan diskusi intensif bersama para pakar hukum terkait implikasi RUU KUHAP terhadap tugas dan fungsi KPK.
Ia menegaskan bahwa sejumlah pasal dalam RUU tersebut tidak sinkron dengan mekanisme yang selama ini dijalankan KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
“KPK sudah melakukan beberapa diskusi dan pembahasan, termasuk mengundang para pakar untuk memberikan pengayaan terhadap dampak RUU KUHAP terhadap tugas, fungsi, dan kewenangan KPK,” ujar Budi dalam keterangannya pada Rabu, 16 Juli 2025.
Baca Juga: Viral Ada Belatung Menggeliat di Menu Makan Bergizi Gratis di Tuban, Respons Siswanya Bikin Ketawa
Penyadapan Diatur Lebih Ketat, KPK Anggap Berisiko
Salah satu poin krusial yang dipermasalahkan adalah soal penyadapan. Dalam RUU KUHAP, penyadapan baru bisa dilakukan pada tahap penyidikan dan harus mendapatkan izin dari pengadilan negeri atau pengadilan tinggi setempat.
Sementara selama ini, KPK dapat melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan dengan mekanisme pelaporan kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK, tanpa harus melalui pengadilan.
“Penyadapan itu penting untuk mendapatkan informasi atau keterangan yang dibutuhkan penyelidik, baik untuk menemukan peristiwa pidananya maupun sekurangnya dua alat bukti,” tegas Budi.
Menurutnya, pembatasan penyadapan dalam RUU KUHAP berisiko menghambat penelusuran awal terhadap dugaan tindak pidana korupsi, yang kerap dilakukan secara rahasia dan sistematis.
Baca Juga: Spesifikasi Toyota Glanza: Hatchback Stylish dengan Performa Efisien
Penyelidik Hanya dari Polri, KPK Keberatan
Isu kedua yang dikritisi adalah soal penyelidik. RUU KUHAP menetapkan bahwa penyelidik hanya bertugas menemukan peristiwa pidana, bukan mengumpulkan alat bukti.
Selain itu, penyelidik hanya dapat berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), tidak termasuk lembaga independen seperti KPK.
Padahal, menurut Budi, KPK secara hukum memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan penyelidik sendiri, sebagaimana diatur dalam UU KPK. Penyelidik di KPK juga diberi mandat untuk mengumpulkan minimal dua alat bukti, bukan sekadar mencari indikasi peristiwa pidana.
Artikel Terkait
Tahanan Pakai Rompi Oranye dan Tangan Diborgol, KPK Kini Kaji Aturan Larangan Tahanan Pakai Masker
Fenomena Pejabat dan Kepala Daerah Ngonten, KPK: Hati-Hati Kalau Pakai Fasilitas Negara
Update Kemungkinan Penyidik KPK Periksa Gubernur Bobby Nasution di Kasus Dinas PUPR Sumut
Biodata Nur Afifah Balqis, Koruptor Termuda Indonesia, Tertangkap KPK di Mal, Netter: Malu-maluin Gen Z
Kebut Kasus Korupsi Pengadaan EDC BRI, Hari Ini KPK Periksa 10 Saksi: Salah Satunya Direktur Digital dan TI Bank Rakyat Indonesia