KONTEKS.CO.ID - Banyak drama Korea berhasil menyisipkan kritik sosial dalam alur cerita yang relevan, emosional, dan menyentuh hati.
Dalam Oh My Ghost Clients di Viu, kisah horor menjadi pintu masuk untuk membongkar tekanan sistem kerja masa kini yang menghantui jiwa-jiwa muda.
Dengan latar belakang hukum, karakter yang batinnya terluka, cerita ini menyuarakan kegelisahan yang hanya tersimpan di hati dan menggali luka terdalam para pekerja muda yang selama ini hanya bisa mengeluh di akun anonim media sosial.
Simak tips yang bermanfaat banget buat kamu yang merasa seperti hantu di tempat kerja.
Baca Juga: Ini Panduan Mental Sehat di Kantor Toxic, Strategi ala Choi Sooyoung Second Shot at Love
Pernah Merasa Seperti Hantu di Tempat Kerja?
Banyak dari kita, terutama milenial dan Gen Z, mungkin pernah merasakan jadi hantu di tempat kerja. Hadir secara fisik, tapi tak benar-benar hidup.
Oh My Ghost Clients menggambarkan perasaan itu, dengan menghadirkan para pekerja yang telah meninggal namun jiwanya belum tenang karena beban kerja, ketidakadilan, atau penyesalan yang belum tuntas.
Ketika mereka muncul, bukan rasa takut yang datang, melainkan rasa terhubung, seolah-olah kita sedang menatap cermin yang memantulkan kelelahan batin kita sendiri.
Baca Juga: Bobby Nasution Bakal Dipanggil KPK Terkait Dugaan Korupsi PUPR Sumut Senilai Rp232 M?
Dilema Anak Magang
Salah satu contoh paling menyayat hati adalah kisah anak magang yang meninggal saat lembur di hari raya. Meskipun terdengar fiktif, kasus seperti ini sesungguhnya bukan hal baru di dunia nyata, hanya saja, sering kali dilupakan atau ditutup-tutupi.
Dengan menjadikan korban sebagai hantu yang menuntut keadilan, drama ini tidak hanya mengetuk empati kita, tapi juga membangkitkan trauma kolektif. Sampai kapan hidup harus dikorbankan demi loyalitas yang tidak pernah dihargai?
Di tengah jiwa-jiwa yang tak tenang itu, hadir Noh Mu Jin (Jung Kyung Ho), seorang pengacara yang kehilangan arah hidupnya setelah kesalahan besar di masa lalu.
Ia bukan sosok penyelamat yang sempurna, namun justru dalam kejatuhan dan rasa bersalah itulah, ia mulai mendengarkan orang lain dan belajar empati.
Transformasinya mengingatkan kita bahwa bahkan dari puing-puing, seseorang bisa bangkit dan memilih berpihak pada yang tertindas.