Selain itu, anjuran berjaga lebih ditujukan kepada kaum laki-laki, terutama para kepala keluarga yang secara adat memiliki tanggung jawab untuk menjaga keselamatan rumah tangga.
"Dalam konteks ini, perempuan seperti ibu menyusui dan anak-anak tidak diwajibkan mengikuti tirakat, mereka boleh tidur di malam hari," terangnya.
Di lingkungan keraton, tirakat malam 1 Suro diwujudkan melalui sebuah ritual simbolik namun sakral. Para senopati dan abdi dalem melakukan penjagaan keliling tembok istana sambil membawa pusaka.
Ritual ini bertujuan menjaga wilayah keraton dari gangguan tak kasat mata, "Ibaratnya ini suasana genting harus dijaga. Jadi menurut kepercayaan Jawa, yang namanya ada orang melek itu, makhluk halus jadi pakewuh (segan) untuk menggoda,” jelas Prof Bani.
Kehadiran manusia yang sadar dan berjaga dianggap mampu menangkal energi atau makhluk jahat.
Dalam kepercayaan Jawa, setiap pusaka mengandung pangaribowo, yakni pengaruh atau daya gaib tertentu.
"Misalnya, pusaka tertentu punya pengaruh menyingkirkan makhluk halus,” kata Prof. Bani.
Oleh karena itu, penggunaan pusaka dalam ritual malam 1 Suro menjadi simbol kesiapan spiritual dan pertahanan diri terhadap gangguan yang bersifat gaib.
Baca Juga: Kombes Ruruh Wicaksono Bisa Naik Pangkat Usai Jadi Ajudan Gibran, Ini Kriteria Ajudan Wakil Presiden
Dalam pandangan budaya Jawa, penjagaan ini adalah bentuk nyata dari perlindungan terhadap ruang kehidupan dari serangan energi negatif.
Melalui semua laku spiritual tersebut, baik berupa berjaga, membawa pusaka, maupun bermeditasi, masyarakat Jawa berharap dapat melewati malam 1 Suro dengan selamat.
Malam ini diyakini sebagai waktu yang penuh potensi gangguan gaib, sehingga perlu disikapi dengan kesiapsiagaan spiritual.***