Sulit Urus KTP, Tak Bisa Nonton Bioskop
Pelarangan juga menyentuh lembaga pemerintahan terdasar. Orang yang akan mengurus surat di RT namun ada anggota keluarganya yang berambut gondrong, maka jangan harap surat itu keluar. Begitu pula yang ingin membuat SIM atau izin lainnya.
Artikel Kompas edisi 24 September 1973 menulis, Komtares 101 Surabaya bahwa sejak 19 September 1973 polisi tidak melayani mereka yang berambut gondrong. Izin pertunjukan seni juga tidak akan keluar jika para pemainnya berambut gondrong. Kebijakan itu keluar terkait meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja di Surabaya.
Baca Juga: Jalan Panjang Karier Sofia WD: Intel Perempuan, Sutradara Film, Hingga Artis Legendaris Indonesia
Di depan Danres 932 Salatiga, ada ultimatum dengan tulisan: PARA TAMU, SEBELUM BERHUBUNGAN URUSAN DINAS, SILAHKAN “JANGAN” BERAMBUT GONDRONG, BERPAKAIAN KEDODORAN. TERIMA KASIH.
Larangan rambut gondrong kian menjadi ketika Presiden Soeharto mengirimkan radiogram. Isinya agar anggota ABRI serta karyawan sipil yang bekerja di lingkungan militer dan keluarganya tak berambut gondrong.
Di Wonosobo, penonton berambut gondrong tak boleh menonton film di bioskop meski telah membeli karcis.
Baca Juga: Sejarah Piala Eropa atau Euro: Diawali Mimpi Henri Delaunay, Sudah Tiga Kali Ganti Nama
Sedangkan di Sumatera, pemberantasan atas rambut gondrong lebih keras lagi. Gubernur Sumatera Utara saat itu Marah Halim Harahap bahkan membentuk Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (Bakorperagon).
Para pemuda yang berambut gondrong mendapat perlakuan layaknya penyakit yang berbahaya. Masyarakat yang nekad memelihara rambut gondrong jangan harap bisa mulus mengurus KTP.
Saat sudah tidak menjabat Kapolri, Hoegeng tidak terima dengan kebijakan pemerintah daripada Soeharto bahwa rambut gondrong identik dengan kejahatan. Di Majalah Tempo edisi 15 September 1973, Hoegeng berujar "Banyak kok penjahat sungguhan yang rambutnya malah klimis, bahkan koruptor itu kepalanya banyak yang botak."***