Baca Juga: Perampok Legendaris Kusni Kasdut, Pejuang Kecewa yang Memilih Jalan Dosa
Para penanya rupanya sering mendapat jawaban guyon yang sinis. Tan yang gerah dengan suasana penuh ejekan itu pun menyimpan talam kue dan minuman di belakang.
Saat mendapat giliran bertanya, Tan tidak setuju dengan pemikiran bahwa Jepang akan membantu kemerdekaan Indonesia. Ia lebih percaya Indonesia meraih kemerdekaannya sendiri.
Soekarno kemudian menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah. Menurutnya, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan Jepang.
Baca Juga: 160 Tahun Louis Vuitton, Brand Termahal di Dunia yang Berawal dari Koper Ciptaan Gelandangan
Tan melihat Soekarno jengkel karena seorang kerani tambang batu bara berani mendebatnya.
Soekarno tidak sadar bahwa orang yang mendebatnya adalah sosok yang ia kagumi. Sosok yang menulis buku "Massa Actie". Soekarno selalu membawa buku ini tatkala menjadi terdakwa di Landraad, Bandung pada tahun 1930.
Sama seperti Soekarno, Hatta pun tidak menyadari bahwa orang itu adalah Tan Malaka. Padahal ketika sama-sama di Belanda, Hatta pernah beberapa kali bertemu dengan Tan Malaka.
Baca Juga: GANEFO, Olimpiade Ciptaan Soekarno yang Kontroversial, Bukti Ada Politik dalam Olahraga
Tan Malaka berpidato saat pertemuan Persatuan Perjuangan pada 1946. Foto: ANRI.
23 Nama Samaran
Tan Malaka memang jago menyamar yang luar biasa. Sepanjang hidupnya, lelaki yang menguasai delapan bahasa ini telah berkeliling dunia sepanjang 89.000 km. lebih jauh dari perjalanan revolusi Che Guevara sekalipun.
Selama petualangannya itu, Tan memiliki setidaknya 23 nama samaran. Beberapa di antaranya adalah Alicio Riviera, Hasan Ghozali, Ossorio, dan Tan Ming Sion. Nama samaran lainnya adalah On Song Lee, Tan Ho Seng, Ramli Husein, dan Ilyas Husein.
Ketika Tan kembali ke Indonesia, Achmad Subarjo adalah orang pertama yang mengenalinya. Teman baik Tan di Belanda itu adalah orang pertama yang memanggilnya kembali dengan nama aslinya.
Baca Juga: Politik Identitas Rezim Orba Terhadap Umat Islam, Dari Penculikan Hingga Larangan Jilbab
"Ganjil benar bunyi nama itu di telinga saya sesudah semenjak lebih dari 20 tahun tak pernah lagi nama itu diucapkan kepada saya dalam pergaulan sehari-hari," katanya dikutip dari buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia 1" karya Harry A Poeze.
Harry A Poeze, seorang sejarawan Belanda yang meneliti tentang Tan Malaka selama 40 tahun, juga punya cerita menarik.
Terendus dan Ditahan
Pada 3 November 1945 keberadaan Tan Malaka di tanah air mulai terendus. Seorang perwira dinas intelijen AS melapor ke Washington bahwa Tan Malaka telah mendarat di Jawa 1,6 bulan menjelang kapitulasi Jepang. "Ia masih tetap bersembunyi, tapi sekarang ia ada di Jawa Timur," tulis laporan itu.
Baca Juga: Pendisiplinan Kepala ala Rezim Orba, Dari Razia Rambut Gondrong Berujung Maut Hingga Tak Boleh Punya KTP
Koran "Merdeka" pun mendapat informasi serupa namun kurang akurat. Pada edisi 9 November 1945 koran itu menulis artikel "Tan Malaka di Jawa".
Koran itu menulis Tan sedang berada di Surabaya dan bersama para pemuda sedang bertempur melawan pasukan Sekutu. Sosok Tan Malaka itu berdiri di atas panggung dan berorasi. Pidatonya bahkan tersiar melalui stasiun radio lokal.
Tan Malaka tentu saja kaget karena saat itu ia belum berada di Surabaya. Dalam buku otobiografinya "Dari Penjara ke Penjara" Tan mengaku mengetahui bahwa selama ini banyak Tan Malaka palsu.
Baca Juga: Hukum di Masa Rezim Orba: Nestapa Sengkon Karta, Divonis Tanpa Bersalah Lalu Menderita Sampai Meninggal
"Amat gembira mendengar bahwa saya mempunyai banyak 'anak', juga sedang bertempur di Surabaya. Segera saya berangkat menuju ke medan pertempuran Surabaya," tulis Tan Malaka dalam bukunya.
Ketika Tan Malaka asli sampai di Surabaya, dia justru ditahan para aktivis. Untunglah Yohan, seorang tokoh pemuda Surabaya yang kebetulan pulang dari Jakarta, mengenali Tan Malaka dan membebaskannya.
Tan Malaka Menyamar sebagai Petani
KH Wahid Hasyim dan Tan Malaka ahli penyamaran. Foto: NU Online
Paman Petani versi Gus Dur
Sebelum peristiwa penangkapan di Surabaya, kabarnya Tan Malaka sempat berkunjung ke Pesantren Tebuireng. Ia bertemu dan berdiskusi panjang lebar dengan KH Hasyim Asy'ari, kakek dari Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Baca Juga: Doktrin Politik Rezim Orba Melalui Film Horor dan Keruntuhan Film Indonesia Lewat Monopoli Bioskop
Gus Dur sendiri pernah menceritakan kisah pertemuannya dengan Tan Malaka yang ia sebut sebagai "paman petani". Saat itu Tan memang sering bertemu dengan ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim.
Setiap kali bertamu ke rumahnya, Gus Dur seringkali membukakan pintu untuk Tan Malaka. Gus Dur menuturkankan bahwa lelaki yang ia pikir seorang petani itu bernama Ilyas Husein dari Banten.
Ayahnya begitu akrab dengan lelaki itu layaknya saudara. Tetapi saat itu Gus Dur belum mengetahui bahwa lelaki itu adalah Tan Malaka. Gus Dur baru mengetahui teman ayahnya itu adalah Tan Malaka setelah sang ibu memberitahunya puluhan tahun pasca pertemuan tersebut.***