Analisis Akademis: Krisis Representasi dan Demokrasi Substansial
Sejarah politik Indonesia menunjukkan pola berulang: ketika institusi negara gagal menjadi ruang representasi rakyat, jalanan jadi pilihan terakhir.
Larry Diamond dalam "Developing Democracy" (1999) menyebut demokrasi prosedural tanpa substansi akan melahirkan krisis legitimasi.
Vedi R Hadiz dalam "Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia" (2010) menambahkan, reformasi justru melahirkan "oligarki baru" yang membuat rakyat semakin jauh dari pusat kekuasaan.
Dalam konteks ini, protes 2025 bisa dibaca sebagai manifestasi krisis representasi. DPR dianggap lebih mementingkan diri sendiri ketimbang rakyat. Narasi 'bubarkan DPR' menjadi simbol puncak kekecewaan.
Baca Juga: Rahasia Bisnis Teh Botol Sosro: Cicip Rasa, Promosi, dan Tak Pelit Bagi Rejeki ke Pelanggan
Mengulang Sejarah atau Membuka Babak Baru?
Dari 1998 ke 2025, jalanan tetap jadi panggung ekspresi politik rakyat. Pertanyaannya: apakah Indonesia sedang mengulang pola lama, atau membuka babak baru demokrasi?
Kemarahan publik terhadap para pejabat, tragedi yang menimpa rakyat kecil, serta stigma terhadap kelompok anarko, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih rapuh.
“Perubahan besar di Indonesia selalu lahir dari jalanan, bukan dari ruang sidang,” kata seorang aktivis muda yang dilansir dari YouTube Kompas TV.
Sejarah pun mengajarkan bahwa perubahan tidak lahir dari ruang sidang megah, melainkan dari suara massa yang tak lagi bisa diabaikan.***