Menurutnya, “Pembiayaan utang yang besar ini berpotensi menambah tekanan pada rupiah, meski secara teknis kebutuhan pinjaman neto tahun depan lebih rendah dibanding outlook 2025. Pasar akan tetap sensitif terhadap besaran utang baru, terutama jika ekspektasi pertumbuhan ekonomi tidak tercapai.”
Baca Juga: Misi 2 Pesawat Hercules TNI AU Uji Nyali Tebar Bantuan di Atas Gaza Palestina Diperpanjang
Faktor Global Masih Membayangi
Di tingkat global, konflik Rusia–Ukraina tetap menjadi faktor eksternal yang membebani sentimen pasar.
Presiden AS Donald Trump memang menjanjikan jaminan keamanan untuk Ukraina sebagai bagian dari negosiasi damai.
Namun, kebijakan tarif tambahan AS terhadap India terkait pembelian minyak Rusia justru menambah ketidakpastian di kawasan.
Baca Juga: Musda Sulteng, Bahlil: Kursi DPR RI Golkar 2029 Harus di Atas 102
Seorang ekonom senior Asia menekankan, “Setiap kebijakan proteksionis baru dari AS berpotensi mengguncang pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Rupiah sering kali menjadi salah satu mata uang paling rentan, karena ketergantungannya pada aliran modal portofolio asing.”
Prospek ke Depan
Meski jangka pendek rupiah masih menghadapi tekanan, data teknikal menunjukkan mata uang ini sempat mencatat penguatan tipis 0,51% dalam sebulan terakhir.
Namun secara tahunan, rupiah masih terdepresiasi 4,81% dan bahkan pernah menyentuh rekor terlemah Rp17.107 per dolar AS pada April 2025.
Lembaga riset Trading Economics memperkirakan rupiah akan berada di kisaran Rp16.300,2 per dolar AS pada akhir kuartal ini, lalu melemah lebih lanjut ke Rp16.595,1 dalam satu tahun mendatang.***