Sentimen Domestik: RAPBN 2026 Jadi Sorotan
Dari sisi kebijakan dalam negeri, pasar menyoroti rencana pembiayaan utang pemerintah.
Dalam RAPBN 2026, pemerintah berencana menarik utang baru Rp781,87 triliun, dengan mayoritas melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
Baca Juga: KPK Panggil Ilham Akbar Habibie Jadi Saksi Kasus Korupsi Iklan Bank BJB
Menurut pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, hal ini bisa menambah tekanan pada rupiah meski jumlah pinjaman neto turun dibanding tahun sebelumnya.
“Pembiayaan utang yang besar tetap akan membebani kepercayaan pasar. Apalagi, investor asing akan berhitung ulang terhadap risiko fiskal Indonesia,” kata Ibrahim.
Faktor Global: Konflik Rusia–Ukraina dan Kebijakan AS
Di level global, ketegangan Rusia–Ukraina masih membayangi pasar.
Baca Juga: Terungkap, Kacab Bank BRI Diculik Usai Rapat dengan Rekan Kantor
Presiden AS Donald Trump menegaskan komitmen keamanan bagi Ukraina, namun di sisi lain menerapkan tarif tambahan 25% terhadap India atas pembelian minyak Rusia.
“Pasar khawatir efek domino dari tarif AS terhadap India. Jika eskalasi berlanjut, tekanan bisa menyebar ke negara-negara Asia lain, termasuk Indonesia,” tambah Ibrahim.
Prospek ke Depan
Meski dalam sebulan terakhir rupiah masih mencatat penguatan tipis 0,51%, tren jangka panjang belum sepenuhnya solid.
Baca Juga: KPK Panggil Bupati Pati Sudewo, Mintai Keterangan Soal Korupsi Jalur Kereta di DJKA
Trading Economics memproyeksikan rupiah berpotensi melemah ke Rp16.595 per dolar AS dalam satu tahun ke depan.
Bagi investor, kondisi ini menjadi pengingat penting bahwa rupiah sangat sensitif terhadap kombinasi faktor domestik dan global.
“Rupiah memang belum di titik nadir, tapi volatilitas tinggi tetap akan jadi tantangan,” tutup Ibrahim.***