KONTEKS.CO.ID - Kemenangan Zohran Mamdani sebagai wali kota New York mencatat sejarah baru di Amerika Serikat.
Ia menjadi sosok pertama dengan latar belakang Muslim dan Asia Selatan yang berhasil menduduki jabatan tertinggi di kota metropolitan itu.
Namun, euforia kemenangan politikus berusia 34 tahun tersebut langsung terhantam gelombang tuduhan dari sejumlah tokoh Partai Republik.
Baca Juga: Nadiem Makarim Akui Sedang Jalani Masa Sulit Usai Jadi Tersangka, Sebut Masih Butuh Doa dan Keadilan
Beberapa anggota Partai Republik di Washington menyerukan penyelidikan terhadap proses naturalisasi Mamdani.
Mereka menudingnya tidak layak memimpin karena diduga berbohong soal status kewarganegaraannya, bahkan ada yang menyerukan deportasi.
“Kota besar Amerika akan dipimpin oleh seorang komunis yang memeluk ideologi teroris,” ujar anggota DPR dari Partai Republik, Andy Ogles, dalam pernyataannya.
“Kalau tuduhan ini benar, kirim dia pulang ke Uganda,” tambahnya.
Presiden Donald Trump pun ikut menuding Mamdani sebagai komunis dan sempat mengancam akan menahan dana federal untuk New York jika ia terpilih.
Asal-Usul dan Tuduhan Politik Zohran Mamdani
Mamdani lahir di Uganda dan pindah ke Amerika Serikat saat berusia tujuh tahun. Ia resmi menjadi warga negara AS pada 2018 setelah melalui proses hukum yang sah.
Meski begitu, sejumlah pihak terus meragukan keabsahan prosesnya, bahkan menuduhnya menyembunyikan dukungan terhadap terorisme.
Tuduhan itu bermula dari lirik rap yang ia tulis pada 2017 yang menyebut “Holy Land Five”, lima aktivis yayasan Muslim yang pernah divonis mendukung Hamas.
Selain itu, keanggotaannya di Democratic Socialists of America (DSA) juga dijadikan alasan untuk menyerangnya.
Namun, pakar hukum menegaskan DSA bukan partai komunis dan tidak ada bukti Mamdani melanggar hukum dalam proses naturalisasi. “Lirik rap bukan dasar hukum untuk mencabut kewarganegaraan seseorang,” kata pengacara imigrasi McKinney.