• Minggu, 21 Desember 2025

Copas Transmigrasi ala Presiden Soeharto, Jepang Imingi Warga Tokyo Insentif hingga Rp365 Juta untuk Pindah ke Desa

Photo Author
- Senin, 20 Januari 2025 | 18:05 WIB
Pemerintah Jepang mengimingi keluarga di Tokyo untuk transmigrasi ke wilayah desa dengan uang insentif. (Living in Tokyo)
Pemerintah Jepang mengimingi keluarga di Tokyo untuk transmigrasi ke wilayah desa dengan uang insentif. (Living in Tokyo)

KONTEKS.CO.ID - Pemerintah Jepang mengimingi keluarga di Tokyo untuk transmigrasi ke wilayah pedesaan dengan insentif uang luar biasa. Mirip dengan program transmigrasi era Presiden Soeharto di Indonesia

Mulai bulan April, Pemerintah Jepang akan mulai membayar pasangan dengan anak-anak berusia 18 tahun ke bawah sekitar satu juta yen (USD7.700 atau seara Rp126 juta) per anak untuk pindah dari Tokyo ke daerah yang penduduknya lebih sedikit di Jepang.

Namun angka insentif tersebut ditolak mentah-mentah oleh warga Tokyo. Mia dan Paul Glaser contohnya. Pasangan yang tinggal di Tokyo dengan putra mereka yang masih kecil, mengatakan, uang itu tidak sepadan.

"Kedengarannya tidak cukup meyakinkan untuk melalui semua kesulitan itu," kata Paul Glaser kepada VICE World News, mengutip Senin 20 Januari 2025.

“Meskipun lebih mahal untuk tinggal di sini, saya pikir jaraknya saja sudah cukup merepotkan bagi kami sehingga tidak sepadan,” katanya, mengutip fakta bahwa anggota keluarga dan kedua pekerjaan mereka berada di Ibu Kota.

Baca Juga: Pengakuan Penonton DWP 2024: Sebut Cara Oknum Polisi Temukan Korban Pemerasan Hingga Pedagang Jual Narkoba di Luar Gedung Konser  

Biaya relokasinya, yang lebih besar daripada 300.000 yen (USD2.240 setara Rp37 juta) per anak yang ditawarkan tahun lalu, merupakan upaya pemerintah untuk menyebarkan populasi Tokyo ke kota-kota pedesaan. Harapannya, dapat menghidupkan kembali wilayah pedesaan.

Dalam dua dekade terakhir, jumlah penduduk Tokyo telah tumbuh lebih dari 16%. Sebelum pandemi, puluhan ribu orang pindah setiap tahun ke ibu kota. Tetapi tahun lalu, wilayah metropolitan Tokyo mencatat penurunan populasi Jepang untuk pertama kalinya sejak pencatatan dimulai pada tahun 1975.

Banyak yang pindah dengan harapan mendapatkan prospek pekerjaan yang lebih besar dan gaji yang lebih tinggi.

Menurut data pemerintah, pendapatan bulanan rata-rata seseorang yang bekerja di Tokyo adalah 373.600 yen (USD2.780 setara Rp46 juta) pada 2020.

Baca Juga: Inter Milan Menang 3-1 atas Empoli, Farris Belum Mau Bicara Scudetto

Di prefektur Aomori utara, angka tersebut turun menjadi 240.500 yen (USD1.790 setara Rp29 juta), yang terendah di antara semua prefektur.

Namun pola migrasi ini, yang diperparah dengan populasi Jepang yang menua dan sekarat dengan cepat, telah membuat kota-kota pedesaan kosong.

Ada Jutaan Rumah di Jepang Membusuk

Jutaan rumah kosong, yang disebut akiya, dibiarkan membusuk. Sementara sekolah dan rumah sakit terpaksa tutup.

Baca Juga: Orang Kepercayaan Donald Trump Sebut AS Ingin Merelokasi Warga Gaza Palestina ke Indonesia

Kota-kota pedesaan mengalami kekurangan tenaga kerja dan jika tren ini terus berlanjut, 896 kotamadya—hampir setengah dari total kotamadya Jepang—dapat lenyap pada tahun 2040, menurut lembaga pemikir Japan Policy Council.

Semua ini menunjukkan krisis demografi Jepang yang lebih besar. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kematian telah melebihi jumlah kelahiran, dengan kelahiran mencapai rekor terendah setiap tahun.

Pada tahun 2021, 28,9% dari total penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas. Hanya 11,8% yang berusia 14 tahun atau lebih muda pada tahun yang sama.

Baca Juga: Jelang Inagurasi Presiden AS, Donald Trump Sudah Siapkan 100 Perintah Eksekutif: Imigran Paling Khawatir

Di Amerika Serikat, yang juga akan mengalami peningkatan jumlah lansia menurut proyeksi, sekitar 16% penduduknya berusia di atas 65 tahun, menurut data tahun 2020. 22,1% penduduknya berusia 18 tahun ke bawah.

Pemerintah telah menyebutkan biaya hidup yang tinggi dan kurangnya dukungan pengasuhan anak sebagai alasan mengapa orang memiliki lebih sedikit anak. Meskipun populasinya tinggi, ibu kota tersebut memiliki tingkat kesuburan terendah dari semua 47 prefektur. Di situlah insentif tunai berperan.

Namun Mia Glaser, ibu satu anak, mengatakan pemerintah harus menawarkan lebih banyak lagi agar keluarga mempertimbangkan untuk pindah. "Saya rasa dua atau bahkan tiga kali lipat jumlah itu tidak akan cukup," katanya.

Meskipun biaya hidup di Tokyo lebih tinggi, mengingat asuransi suaminya menanggung tagihan medis putranya, tetap tinggal di ibu kota lebih menguntungkan.

Baca Juga: Bersyukur Capai Semi Final India Open, Gregoria Target Raih Prestasi Lebih di Indonesia Masters 2025

Agar uang yang ditawarkan untuk program relokasi ini tetap ada, rumah tangga harus menepati janji mereka.

Mereka yang pindah harus tinggal di lokasi baru selama lima tahun. Salah satu anggota keluarga juga harus bekerja di kota baru atau berencana membuka usaha baru.

Selain itu, keluarga yang pindah juga dapat menerima hingga 3 juta yen (USD22.290 setara Rp365 juta) jika, di tempat tujuannya, mereka dapat bekerja di perusahaan kecil atau menengah. Atau memulai usaha baru, atau melanjutkan pekerjaan lama mereka dari jarak jauh.

Baca Juga: Omon-omon Donald Trump Ampuh, TikTok Kembali Bisa Dinikmati 170 Juta Penduduk AS

Program khusus yang membayar keluarga untuk meninggalkan Tokyo ini, yang dibiayai secara merata oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, diluncurkan pada 2019.

Hanya 71 orang yang pindah di tahun itu, dan jumlah itu meningkat sedikit menjadi 290 orang pada tahun berikutnya. Pada 2021, 2.381 orang pindah dari wilayah metropolitan. ***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Iqbal Marsya

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X