Di tengah kondisi serba kekurangan, saat dingin menusuk dan kebutuhan pribadi menjadi hal paling mendesak, bocah itu memilih memikirkan ibunya terlebih dahulu.
Ia ingin memastikan sang 'mamak' juga mendapatkan selimut, juga terlindungi dari dinginnya malam pascabanjir.
Bagi para relawan, momen tersebut dimaknai sebagai arti kepolosan dan ketulusan. Bahwa di tengah krisis, empati dan kasih sayang tidak ikut hanyut oleh banjir.
Baca Juga: Atasi Masalah Sampah, Emiten ELSA Beri Solusi Angkutan dan Pelatihan Daur Ulang di desa Mundu
Justru dari anak sekecil itu, nilai-nilai kemanusiaan tampil dengan cara paling jujur dan paling sunyi.
Kisah ini bukan sekadar potret keharuan, melainkan cermin tentang kekuatan ikatan keluarga, tentang kepolosan anak-anak yang masih menempatkan orang tua di atas dirinya sendiri, bahkan ketika hidup sedang berada di titik paling rapuh.
Di pengungsian yang serba terbatas itu, satu permintaan sederhana berhasil menghangatkan banyak hati. Bukan hanya dengan selimut, namun dengan harapan bahwa kemanusiaan masih hidup, dan akan selalu menemukan jalannya.***
Artikel Terkait
Duka Banjir Belum Sirna, Truk Pengangkut Sawit Masih Saja Konvoi Hilir Mudik di Jalanan Aceh
Sambangi Pengungsi Aceh Tamiang, Prabowo Sentil Pengelolaan Alam: Jangan Tebang Pohon Sembarangan!
BNPB: Tak Benar Narasi Tenda Dipasang Jelang Kunjungan Presiden ke Aceh Tamiang
Warga Aceh Tengah Ngeluh Susah Air Bersih dan Listrik Mati, Prabowo: Pasti Kita Bantu, Tenang Saja!
Busyro Muqoddas: Tragedi Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar Gegara Kebijakan Negara